JAKARTA, BARANEWS | Aksi sepihak Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, memberhentikan dan merazia truk berpelat BL asal Aceh di kawasan Langkat, Sumatera Utara, adalah tamparan keras terhadap prinsip persatuan yang terlahir dari darah dan sejarah panjang bangsa ini. Tangan gubernur, yang seharusnya menenangkan, justru merangsek ke ranah aparat penegak hukum—tanpa dasar hukum, tanpa koordinasi, dan tanpa empati.
Video aksi razia itu viral di media sosial, memantik kegaduhan nasional, khususnya di Aceh. Bukan hanya perasaan kolektif warga yang terusik, tetapi juga nalar publik yang mempertanyakan: di negeri ini, siapa yang berhak menyatakan warga negara “asing” di tanahnya sendiri?
Langkah Bobby, sekelumit tampak heroik—namun sejatinya adalah kebijakan yang sembrono. Ia bukan hanya menginterupsi kewenangan Polri, namun juga merobek susunan sistemik negara hukum yang selama ini memastikan bahwa pelat nomor, seperti halnya KTP, adalah simbol keabsahan identitas nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, M. Nasir Djamil, menyebut tindakan Bobby sebagai blunder. “Bobby jangan buat kebijakan blunder. Malu lagi, apalagi kemarin juga sudah buat ribut dengan orang Aceh soal empat pulau yang dicaplok Sumut,” ujarnya.
Pernyataan Nasir bukan sekadar ekspresi politik regional, melainkan seruan agar seorang gubernur memahami posisi dan fungsinya. STNK dan pelat kendaraan adalah produk hukum nasional. Mereka berlaku dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh hingga Papua. Tidak ada satu pun kepala daerah yang punya kewenangan menyatakan suatu plat “tidak sah” hanya karena berasal dari luar wilayahnya.
“Tanya ke Bobby, STNK bermotor itu produk nasional atau daerah? Tanyakan ke Bobby, apa dia masih mengakui bendera merah putih sebagai bendera Indonesia?” Nasir menambahkan dengan nada tajam—sindiran yang tragis, tapi perlu.
Jalan raya di negeri ini dibangun dari uang rakyat: APBN, APBD—semuanya berasal dari pajak seluruh warga negara. Dengan demikian, tak satu kilometer pun aspal yang bisa diklaim seolah hanya milik warga satu provinsi. Kebijakan diskriminatif, seperti merazia kendaraan berdasarkan pelat, bukan hanya keliru hukum, tapi juga melukai akal sehat dan menyinggung martabat kebangsaan.
“Semua ruas jalan di Indonesia ada uang rakyat di dalamnya. Karena itu tidak boleh ada diskriminasi dalam penggunaannya,” lanjut Nasir.
Konflik empat pulau yang belum juga usai antara Aceh dan Sumut makin mempertegas bahayanya tindakan politik tanpa kalkulasi. Razia Bobby terhadap kendaraan Aceh memperkeruh perasaan kolektif yang sudah lama dibiarkan menggantung tanpa penyelesaian.
Jika memang ada persoalan transportasi lintas wilayah, gubernur tak bisa bertindak sendiri. Ada kepolisian. Ada Dinas Perhubungan. Bahkan, ada forum gubernur antarprovinsi. Tapi Bobby memilih jalan pintas—razia sepihak, atas dasar entah apa, dan dengan risiko yang terlalu besar bagi stabilitas sosial.
“Kalau Bobby tetap ngotot, maka Polda Sumut bisa mengamankan Bobby dan memprosesnya secara hukum. Karena kebijakan itu sangat berpotensi membenturkan warga antarwilayah,” ujar Nasir.
Tak hanya soal hukum yang dilangkahi, tapi juga kesadaran seorang pemimpin untuk menjaga harmoni, bukan justru menabur benih konflik. Di tengah polarisasi yang kian tajam antardaerah, di tengah kerentanan masyarakat pascapemilu, api seperti ini cukup dengan satu tiupan untuk menjadi kobaran besar.
Pemimpin yang matang tahu kapan harus tegas, dan lebih tahu kapan harus menahan diri. Bobby mungkin ingin tampil kuat. Tapi yang muncul kini justru adalah sosok pemimpin yang tak mampu memahami batas kekuasaannya sendiri.
Cepat atau lambat, pemerintah pusat harus turun tangan. Ini bukan sekadar urusan pelat nomor. Ini ujian kebangsaan. Kesalahan yang dibiarkan, akan menjadi preseden. Dan bangsa yang membiarkan keharmonisan dijadikan korban eksperimen politik, cepat atau lambat, akan membayar harganya mahal. Sangat mahal. (*)


































