Aceh Tenggara, Baranews — Suasana depan Markas Polres Aceh Tenggara berubah menjadi panggung perjuangan rakyat. Puluhan masyarakat bersama dua organisasi kemasyarakatan, LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat Aceh Tenggara) dan LSM KOREK (Koalisi Rakyat Keadilan), menggelar aksi damai pada Selasa siang, menuntut pemberantasan narkoba secara serius dan menyeluruh. Aksi ini dipimpin langsung oleh Bupati LSM LIRA Aceh Tenggara, Fazriansyah, yang berorasi dengan lantang dan penuh semangat, menyuarakan aspirasi rakyat kecil yang muak dengan peredaran narkotika yang terus merajalela di wilayah mereka.
Dalam aksi pada 28 Oktober 2025 yang berlangsung tertib itu, massa menyampaikan dua tuntutan utama: pertama, menangkap dan menindak tegas para bandar narkoba yang selama ini tidak tersentuh hukum; kedua, memproses secara hukum oknum anggota kepolisian yang dituding terlibat dalam praktik “tangkap lepas” tersangka narkotika.
Aksi tersebut menjadi puncak kegelisahan masyarakat atas mencuatnya kembali kasus “tangkap lepas” terkait seorang bandar narkoba berinisial AW, yang ditangkap oleh tim dari Satres Narkoba Polres Aceh Tenggara dalam pengembangan jaringan distribusi sabu lintas provinsi pada Juli lalu di kawasan Medan Johor. Namun, alih-alih menjalani proses hukum sesuai prosedur, ia justru dibawa ke sebuah hotel di kawasan Kesawan, Medan Barat — bukan ke kantor polisi atau ruang tahanan.
Setelah diinapkan di hotel, AW kemudian dikabarkan dibawa ke rumah sakit dengan dalih menderita gangguan kesehatan. Dan yang paling mengejutkan, AW kemudian dilepaskan tanpa proses hukum yang jelas. Tidak ada berita acara pemeriksaan, tidak ada pelimpahan ke kejaksaan, dan tidak ada penjelasan resmi soal status hukumnya.
Melalui pengeras suara, orator menyebut peristiwa tersebut sebagai pengkhianatan terhadap hukum dan rakyat. “Bukannya dibawa ke pengadilan, malah dibawa ke hotel. Ada apa ini? Jangan permainkan keadilan seperti ini,” seru Fazriansyah diikuti pekikan massa, “Hidup rakyat kecil!”
Praktik penyalahgunaan wewenang ini ditengarai melanggar Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)—yang menyebut seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan bisa dipidana. Bila tindakan ini terkait imbalan atau gratifikasi, maka pelaku dapat dikenakan Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menetapkan ancaman pidana hingga 20 tahun penjara.
Dalam orasinya, Fazriansyah mengatakan bahwa pelepasan AW bukanlah kasus biasa. Ini adalah preseden buruk yang melemahkan semangat perang terhadap narkoba. “Kami tahu polisi sudah bekerja, tapi jika oknum di dalam ikut bermain, maka mafia narkoba akan makin berani,” ujarnya.
Lebih lanjut, LSM LIRA dan KOREK mendesak Propam Polri serta Polda Aceh untuk segera turun tangan mengusut kasus ini, mengingat penyimpangan prosedur seperti ini berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Masyarakat menyatakan siap menghadirkan saksi dan bukti jika diperlukan.
Tidak hanya menyinggung soal tangkap lepas, dalam aksi tersebut para orator juga menyampaikan pengalaman pribadi sebagai mantan pengguna atau keluarga dari korban narkoba. Mereka menilai bahwa selama ini polisi hanya “menyasar pemakai”, sementara para bandar besar dibiarkan bergerak bebas. “Kalau cuma tangkap pengguna, itu bukan penindakan, itu pencitraan. Tangkap bandarnya!” teriak salah satu orator dari LSM KOREK.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Polri secara tegas mengatur bahwa anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran berat, apalagi menyalahgunakan jabatan, dapat dikenai sanksi hingga pemberhentian tidak dengan hormat. Maka, mereka mendesak agar oknum yang diduga terlibat tak hanya diperiksa etik, melainkan juga diproses hukum sampai ke pengadilan.
Massa juga memohon kepada Kapolres Aceh Tenggara agar tidak diam dalam menghadapi kasus ini. Mereka menuntut agar pimpinan Polres dapat hadir menemui massa secara langsung dan bersedia berdialog terbuka untuk menjelaskan langkah konkret kepolisian dalam menanggapi kasus AW dan memperkuat pemberantasan jaringan narkoba di wilayah hukum Aceh Tenggara.
“Kami datang hari ini bukan karena benci polisi. Kami percaya masih banyak polisi baik. Tapi jika ada oknum yang menghianati sumpah jabatannya, kami akan berdiri di depan untuk menuntut kebenaran. Jangan biarkan institusi ini rusak oleh segelintir orang,” ujar Fazriansyah menutup orasinya.
Peserta aksi menyatakan akan terus mengawal kasus ini. Jika tidak ada langkah maju dalam sepekan, mereka akan kembali melakukan aksi serupa dengan massa yang lebih besar dan membawa bukti-bukti yang lebih rinci.
Aksi damai ditutup dengan pekikan “Hidup rakyat kecil!” dan nyanyian semangat dari para peserta. Aceh Tenggara menuntut keadilan. Dan hari itu, suara itu terdengar nyaring dari pinggir jalan — tempat hukum diperjuangkan oleh mereka yang paling sering jadi korban ketidakadilan. (TIM)














































