Tapaktuan — Alumni Fakultas Hukum USK asal Kluet Tengah, Henneri SH mendesak Bupati Aceh Selatan, H. Mirwan MS, untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi milik Koperasi Serba Usaha (KSU) Tiega Manggis dan IUPK PT Pinang Sejati Utama (PSU).
Desakan tersebut, sejalan dengan Instruksi Gubernur Aceh Nomor 08/INSTR/2025 tertanggal 29 September 2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan/Non-Perizinan Berusaha Sektor Sumber Daya Alam. Instruksi ini menegaskan agar seluruh pemerintah kabupaten/kota di Aceh melakukan penertiban izin yang bermasalah, terutama di sektor pertambangan yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan.
“Kami meminta Bupati Aceh Selatan tidak ragu menggunakan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Mineral dan Batubara. Jika terbukti melanggar, Bupati harus berani mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin,” tegas Henneri Sh, Kamis, 23 Oktober 2025.
Menurut Henneri, terdapat sejumlah indikasi pelanggaran serius yang dilakukan oleh KSU Tiega Manggis, di antaranya, Kegiatan penambangan di luar koordinat wilayah izin (IUP) sebagaimana ditetapkan dalam peta wilayah tambang, Pengabaian kewajiban reklamasi dan pascatambang, yang bertentangan dengan Pasal 24 dan Pasal 26 Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017, Indikasi tidak adanya pelaporan periodik kegiatan pertambangan kepada pemerintah daerah, sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 30 Qanun 15 tahun 2017. Indikasi pelanggaran lingkungan dan sosial, termasuk kerusakan badan jalan desa dan pencemaran aliran sungai di sekitar wilayah operasi.
“Pelanggaran-pelanggaran tersebut bukan hal baru, tetapi sudah lama dikeluhkan masyarakat. Bupati tidak boleh menutup mata, karena setiap pelanggaran administratif dan teknis dalam pertambangan adalah bentuk perampasan hak lingkungan hidup warga,” ujar Henneri.
Sementara itu, untuk PT Pinang Sejati Utama (PSU), Haikal menyoroti indikasi belum lengkapnya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) asli, meski perusahaan tersebut telah melakukan aktivitas operasional di lapangan.
“Dari hasil penelusuran kami, dokumen AMDAL yang dijadikan dasar operasional PT PSU masih dipertanyakan keabsahannya. Ada indikasi perusahaan beroperasi sebelum proses penilaian AMDAL selesai. Ini pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” ungkapnya.
Dia menilai bahwa Bupati Aceh Selatan memiliki dasar hukum yang kuat untuk bertindak, terutama berdasarkan Pasal 14 Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten untuk melakukan pengawasan, pembinaan, dan tindakan administratif terhadap kegiatan pertambangan di wilayahnya.
Dia juga menyinggung Surat Bupati Aceh Selatan Nomor 540/790 tertanggal 21 Juli 2025, yang sebelumnya telah memerintahkan penghentian sementara aktivitas penambangan. Ia menilai langkah tersebut tepat, namun harus dilanjutkan dengan audit teknis dan hukum yang transparan.
“Evaluasi tidak cukup sebatas administratif. Harus ada audit faktual di lapangan yang melibatkan Dinas ESDM, inspektur tambang, akademisi, elemen sipil dan masyarakat terdampak. Hasil evaluasi wajib diumumkan ke publik agar tidak menimbulkan spekulasi,” katanya.
Menurut Henneri, praktik pengabaian izin dan lemahnya pengawasan tambang rakyat dan swasta telah lama menjadi sumber ketimpangan dan konflik sosial di Aceh Selatan. Banyak masyarakat yang terdampak lingkungan tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, sementara hasil tambang tidak memberi manfaat nyata bagi daerah.
“Kami tidak menolak investasi, tapi kami menolak eksploitasi tanpa etika. Pemerintah harus memastikan setiap perusahaan tambang benar-benar menjalankan kewajiban sosial dan lingkungan. Kalau tidak, hentikan izinnya,” tegasnya.
Henneri SH juga mendesak agar Bupati Aceh Selatan segera membentuk Tim Evaluasi Independen yang bekerja dalam jangka waktu terbatas, dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka. Tim tersebut diharapkan melibatkan unsur pemerintah, lembaga teknis, akademisi, dan masyarakat sipil.
“Transparansi adalah kunci. Dengan begitu, publik akan tahu siapa yang patuh dan siapa yang bermain di wilayah abu-abu perizinan,” pungkasnya.