BANDA ACEH, Senin, 30 September 2025 — Suasana Ahad siang di sebuah masjid di Banda Aceh berlangsung khusyuk dan tenang. Selepas shalat, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf — yang akrab disapa Mualem — melangkah santai keluar dari serambi masjid. Di bawah terik matahari, ia melihat seorang pedagang es krim sederhana yang tengah menjajakan dagangannya di halaman. Sepeda motor yang digunakan pedagang itu berpelat BK, menandakan asal dari Sumatera Utara.
Tanpa menunjukkan sikap keberatan, Mualem malah mendekati penjual tersebut dan memesan satu porsi es krim. Alih-alih menyinggung nomor polisi kendaraan atau asal wilayah pelat, Mualem justru tersenyum ramah dan mengobrol ringan tentang rasa es krim yang dijual. Tak ada teguran, tak ada interogasi, hanya interaksi sederhana di balik persoalan yang belakangan hangat diperbincangkan publik.
Momen itu direkam oleh warga dan tersebar cepat di media sosial. Banyak yang mengira Gubernur akan menyoal pelat luar daerah, namun adegan yang tersaji justru kontras. “Beliau cuma tanya soal es krim, bukan soal plat. Padahal pajaknya jelas mengalir ke Medan,” tulis salah seorang warganet, disertai gurauan dan emoji tawa.
Gaya santai dan penuh keakraban ini dianggap sebagai bentuk respons simbolik atas ketegangan yang sempat muncul menyusul pernyataan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang menggulirkan wacana razia terhadap kendaraan berpelat BL asal Aceh yang melintas di Medan. Kebijakan tersebut menuai kritik luas karena dinilai berlebihan dan tidak mengedepankan semangat integrasi antarwilayah.
Apa yang dilakukan Mualem seakan menjadi bentuk sindiran halus, bahwa persoalan pelat kendaraan tidak pantas dibesar-besarkan, apalagi hingga menimbulkan keresahan. Di Aceh sendiri, kendaraan dari Sumatera Utara bukan hal yang asing. Warga dengan pelat BK bebas beraktivitas, bekerja, berdagang, dan berkeliling tanpa rasa khawatir. Potret pedagang es krim itu hanyalah satu contoh dari banyaknya warga yang saling berbagi ruang dan penghidupan lintas batas administratif.
Sikap Gubernur Aceh memperlihatkan bahwa pendekatan persuasif jauh lebih menenangkan ketimbang solusi yang bersifat represif. Di tengah isu yang berkembang di media dan ruang politik, sebuah momen sederhana di halaman masjid justru menyampaikan pesan yang lebih mendalam: bahwa memahami realitas sosial warga adalah bagian penting dari kepemimpinan.
Persoalan pelat nomor bisa jadi soal administratif, tetapi cara pemimpin menyikapinya dapat menentukan suasana kebatinan masyarakat. Dalam hal ini, es krim dan senyum yang dibagikan Mualem tampak lebih menyegarkan ketimbang narasi penertiban yang kaku dan menegangkan. (*)