GAYO LUES – Sengketa tapal batas antara Desa Kong, Kecamatan Blangpegayon dengan dua desa di Kecamatan Kuta Panjang, yakni Desa Kong Paluh dan Desa Blang Sere, kembali menjadi sorotan publik setelah Kepala Desa Kong, Sabdin, secara lantang menyuarakan permintaan tegas kepada Bupati Gayo Lues Suhaidi dalam sebuah forum resmi kunjungan kerja di Kecamatan Blangpegayon, Selasa (27/5/2025).
Dalam forum diskusi terbuka yang berlangsung di hadapan jajaran Forkopimda, Forkopimcam, tokoh masyarakat, dan perwakilan dari berbagai desa, Sabdin tampil vokal menuntut pemerintah kabupaten agar segera mengambil langkah konkret dalam penyelesaian batas wilayah yang selama ini dinilai tidak jelas dan rawan memicu gesekan antarwarga.
“Kami dari Desa Kong sudah cukup bersabar. Tapi jika terus dibiarkan, saya khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Kami tidak mau konflik terbuka terjadi di tengah masyarakat, hanya karena masalah tapal batas yang tak kunjung ditangani,” ujar Sabdin dalam pernyataannya yang disampaikan penuh emosi namun tetap terukur.
Sabdin secara khusus menyoroti klaim sepihak terkait Lapangan Pacuan Kuda Buntul Nege, yang dalam beberapa waktu terakhir sering disebut sebagai bagian dari wilayah Desa Blang Sere, Kecamatan Kuta Panjang. Menurutnya, klaim tersebut tidak berdasar dan melukai perasaan masyarakat Desa Kong yang merasa terpinggirkan di tanahnya sendiri.
“Lapangan Pacu itu masih di wilayah kami, Blangpegayon. Tepatnya di Kampung Kong Bur. Jadi tolong, jangan lagi ada yang menyebut itu bagian dari Kuta Panjang. Ini bukan hanya soal wilayah, ini menyangkut identitas dan harga diri,” ucapnya yang disambut tepuk tangan meriah dari masyarakat yang hadir.
Lebih lanjut, Sabdin juga menyampaikan bahwa dirinya tidak lama lagi akan menyelesaikan masa jabatannya sebagai kepala desa, dan berharap permasalahan ini dapat diselesaikan sebelum masa pengabdiannya berakhir.
“Saya ingin meninggalkan sesuatu yang baik bagi desa saya. Jangan sampai persoalan ini diwariskan dan justru menjadi bara dalam sekam bagi generasi berikutnya. Kami sudah pernah membawa persoalan ini ke Bagian Tata Pemerintahan, lengkap dengan dokumen dan peta lama sejak masa Bupati Ibnu Hasyim. Kami juga pernah ajukan rekomendasi terkait status hutan lindung dan kerusakan jalan di masa PNPM. Artinya, kami sudah cukup aktif. Tinggal kemauan politik dari pemerintah kabupaten,” paparnya.
Menanggapi pernyataan tersebut, Bupati Gayo Lues Suhaidi mengakui bahwa persoalan tapal batas memang menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahannya. Ia menyampaikan apresiasi terhadap keberanian dan keterbukaan masyarakat Blangpegayon yang terus konsisten menyuarakan aspirasi secara damai dan terstruktur.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak di Kecamatan Blangpegayon, termasuk kepala desa dan camat, yang selama ini berupaya menjaga suasana kondusif meskipun dalam tekanan isu sensitif seperti ini. Masalah batas ini memang harus diselesaikan. Kita akan segera koordinasikan kembali dengan Bagian Tata Pemerintahan agar penyelesaiannya dapat dipercepat,” kata Suhaidi.
Suhaidi menambahkan bahwa penyelesaian tapal batas antar kecamatan umumnya lebih mudah dilakukan dibandingkan sengketa antar desa, karena status wilayahnya lebih jelas dan biasanya sudah memiliki referensi peta administratif yang bisa digunakan sebagai acuan.
“Kita akan pastikan semua batas antar kecamatan diluruskan. Ini juga menjadi bagian dari kebutuhan data yang diminta Pemerintah Pusat. Peta administrasi wilayah kabupaten, kecamatan, hingga desa harus sinkron, dan ini akan jadi prioritas,” tambahnya.
Terkait status Lapangan Pacuan Kuda Buntul Nege, Suhaidi mengatakan bahwa kejelasan wilayah tapal batas akan secara otomatis menyelesaikan persoalan status fasilitas umum tersebut.
“Kalau batas wilayahnya sudah selesai, maka status lapangan pacuan itu juga akan menjadi jelas. Dan saya pribadi berharap memang betul itu masuk wilayah Blangpegayon, karena dari data lama itu yang saya lihat,” ujar Suhaidi sambil menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan tersebut secepat mungkin.
Persoalan tapal batas antara Blangpegayon dan Kuta Panjang sejatinya sudah mencuat sejak beberapa tahun lalu. Namun hingga kini, belum ada keputusan resmi yang menetapkan batas administratif secara final. Kekosongan kepastian hukum ini dinilai oleh masyarakat sebagai sumber konflik laten yang bisa meledak kapan saja jika tidak ditangani secara serius oleh pemerintah daerah.
Dengan semakin terbukanya ruang partisipasi masyarakat dalam forum publik, seperti yang ditunjukkan Sabdin, diharapkan persoalan-persoalan mendasar seperti ini bisa segera diurai demi menjaga stabilitas sosial dan mencegah konflik horisontal antar desa. (*)