Subulussalam, Baranews – Syahbudin Padank, seorang wartawan aktif dari media daring 1kabar.com sekaligus Wakil Ketua DPW FRN (Fast Respon Counter Polri) Nusantara Provinsi Aceh, menjadi korban dugaan teror yang menyasar rumah serta kendaraan pribadinya. Peristiwa itu terjadi pada malam hari, Jumat (17/10/2025) di Dusun Lae Mbetar, Desa Sikalondang, Kecamatan Simpang Kiri, Kota Subulussalam. Dalam kejadian tersebut, kaca belakang mobil milik Syahbudin pecah akibat dilempar batu oleh orang tak dikenal. Selain itu, bagian seng rumahnya turut menjadi sasaran pelemparan dalam insiden yang mengejutkan itu.
Syahbudin menduga kuat bahwa aksi teror ini berhubungan erat dengan pemberitaan yang ia tulis dalam beberapa waktu terakhir, khususnya liputan mengenai maraknya aksi pencurian kelapa sawit, peredaran sepeda motor bodong serta aktivitas mabuk-mabukan yang terjadi di wilayah tersebut. Berbagai laporan tersebut menjadi sorotan publik karena menyingkap keresahan warga terhadap meningkatnya tindak kriminalitas yang belum sepenuhnya tertangani oleh aparat berwenang.
Dalam pernyataannya kepada media, Syahbudin menyatakan bahwa dirinya baru mengetahui telah menjadi korban aksi vandalisme ketika pagi hari. Ia sengaja tidak menyentuh atau memindahkan mobilnya dan memilih menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian agar dapat dilakukan proses identifikasi dan penyelidikan lebih lanjut. Meski belum mengetahui secara pasti siapa pelaku maupun motif pastinya, ia menegaskan bahwa insiden tersebut harus diproses secara hukum karena merupakan bentuk ancaman nyata terhadap profesi jurnalis dan kebebasan pers.
“Saya tidak ingin menuduh siapapun, tetapi saya menduga kuat ini berkaitan dengan berita yang saya publikasikan. Saya sudah memberitakan berbagai persoalan masyarakat dan persoalan hukum dengan niat baik. Kini saya berharap aparat penegak hukum, khususnya Polres Subulussalam, segera mengusut tuntas siapa pelaku teror ini,” ujar Syahbudin dalam sebuah video pernyataan.
Ia juga menyerukan dukungan dari rekan seprofesi dan organisasi tempat ia bernaung. Terutama kepada Pimpinan Umum Media Satu Kabar, Khaidir Towaran, dan Ketua Umum Detik Aceh, Abdiansyah. Ia berharap solidaritas sesama wartawan bisa menjadi kekuatan moral agar kasus ini dikawal sampai pelaku berhasil diungkap dan diberi sanksi sesuai hukum yang berlaku.
Kejadian yang menimpa Syahbudin bukan hanya menjadi ancaman bagi dirinya secara pribadi, melainkan juga menjadi bentuk kekerasan terhadap profesi wartawan secara umum. Dalam sistem hukum Indonesia, kebebasan pers dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, di mana Pasal 4 ayat (3) secara jelas menyatakan bahwa “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Ancaman berupa intimidasi atau kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistiknya juga dapat dijerat melalui Pasal 18 ayat (1) dari undang-undang yang sama, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah.
Tidak hanya itu, tindakan perusakan properti dan teror fisik seperti yang terjadi dalam kasus ini juga masuk dalam ranah tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya pasal terkait penganiayaan, perusakan barang milik orang lain, serta perbuatan tidak menyenangkan yang diancam dengan pidana penjara.
Berbagai pihak menyayangkan terjadinya peristiwa ini, mengingat jurnalis merupakan salah satu pilar demokrasi yang memiliki peran vital dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat dan menjaga fungsi kontrol sosial terhadap lembaga-lembaga kekuasaan. Kasus ini memunculkan kekhawatiran akan meningkatnya kekerasan terhadap pekerja media, khususnya di daerah-daerah yang jauh dari sorotan media arus utama, di mana perlindungan hukum terhadap jurnalis dinilai masih lemah secara implementasi.
Hingga berita ini ditulis, pihak kepolisian belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai perkembangan proses penyelidikan kasus tersebut. Namun, tekanan dari masyarakat, komunitas jurnalis, serta organisasi profesi terhadap aparat penegak hukum agar segera menuntaskan kasus ini terus menguat. Banyak pihak berharap kejadian seperti ini tidak kembali terulang, dan setiap jurnalis di Indonesia bisa bekerja tanpa rasa takut maupun tekanan, sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan undang-undang yang berlaku.