Blangkejeren — Sejumlah tokoh masyarakat Kecamatan Putri Betung, Kabupaten Gayo Lues, menyampaikan keresahan kepada Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, terkait pemasangan plang larangan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) di kawasan yang disebut sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Keluhan tersebut disampaikan langsung saat Gubernur Aceh melakukan kunjungan kerja ke Gayo Lues dan menghadiri silaturahmi di Pendopo Bupati, Rabu, 25 Juni 2025.
Dalam pertemuan tersebut, seorang tokoh masyarakat bernama Sarjana menyampaikan bahwa pemasangan plang larangan oleh Satgas PKH dilakukan secara mendadak tanpa sosialisasi terlebih dahulu kepada warga. Ia menilai tindakan tersebut menimbulkan keresahan dan kepanikan, karena masyarakat khawatir akan digusur dari lahan yang telah mereka tempati secara turun-temurun.
“Masalah empat pulau memang sudah kembali ke Aceh, tetapi kini muncul masalah baru di Kecamatan Putri Betung. Satgas PKH tiba-tiba datang dan memasang plang tanpa pemberitahuan. Warga kami yang sudah mendiami kawasan itu selama beberapa generasi kini merasa panik karena dianggap melanggar kawasan TNGL,” ujar Sarjana kepada Gubernur Muzakir Manaf, Rabu (25/6/2025).
Sarjana menegaskan bahwa masyarakat setempat bukan perambah liar atau perusahaan yang merusak hutan. Menurutnya, warga hanya memanfaatkan sebagian kecil lahan untuk berkebun kakao, durian, dan kemiri. Ia juga menambahkan bahwa permukiman dan lahan pertanian warga telah ada jauh sebelum penetapan kawasan TNGL.
“Kami bukan pendatang, bukan perusak hutan. Kami sudah hidup di sana sejak sebelum kawasan itu disebut taman nasional. Jadi jangan samakan dengan kasus di tempat lain,” tegasnya.
Keluhan serupa juga disampaikan oleh Bupati Gayo Lues, Suhaidi, yang menyampaikan bahwa pemasangan plang oleh Satgas PKH mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025. Ia mengatakan bahwa langkah tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan berpotensi memicu konflik sosial.
“Pemerintah pusat perlu memahami bahwa kondisi di Gayo Lues berbeda dengan wilayah lain. Jika relokasi dilakukan, bukan hanya biaya besar yang dibutuhkan, tetapi juga akan menimbulkan masalah sosial yang serius,” kata Bupati Suhaidi.
Menurutnya, pihak Pemerintah Kabupaten Gayo Lues telah menyampaikan langsung permasalahan ini kepada Menteri Kehutanan saat berkunjung ke Aceh Tengah beberapa waktu lalu. Ia berharap Pemerintah Pusat dan Satgas PKH dapat melihat persoalan ini secara objektif dan mencari solusi yang adil bagi masyarakat.
Dalam kesempatan yang sama, Bupati juga melaporkan beberapa hal strategis kepada Gubernur Aceh, di antaranya rencana pembukaan jalur konektivitas antara Gayo Lues dan Aceh Tamiang melalui Lesten–Pulau Tiga, yang saat ini sudah mulai dikaji oleh tim Amdal dari Kementerian PUPR. Ia juga memohon dukungan Gubernur agar 12 desa pemekaran yang telah menunggu legalitas selama lebih dari 20 tahun segera didefinitifkan.
“Kami mohon dukungan Bapak Gubernur agar janji politik kita bersama saat Pilkada bisa direalisasikan, termasuk pemekaran desa yang sangat mendesak untuk percepatan pembangunan,” sambung Suhaidi.
Kunjungan kerja Gubernur Aceh Muzakir Manaf ke Gayo Lues merupakan bagian dari rangkaian agenda resminya sejak dilantik pada Pilkada serentak 2024. Rombongan Gubernur tiba di Bandara Blangkejeren sekitar pukul 14.30 WIB dengan pesawat kecil Pegasus, setelah sebelumnya menerima Menteri PUPR di Banda Aceh.
Setiba di Blangkejeren, Gubernur disambut oleh Bupati Gayo Lues Suhaidi, Wakil Bupati Maliki, Sekda Jata, Forkopimda, pimpinan DPRK, dan jajaran pejabat Pemkab Gayo Lues. Seusai agenda di pendopo, Gubernur juga menyempatkan diri melakukan takziah ke rumah duka almarhum Jafar Ama Uwe, Ketua Partai Aceh Gayo Lues yang baru saja wafat. Setelah itu, Gubernur dijadwalkan melanjutkan kunjungan kerjanya ke Kabupaten Aceh Tenggara untuk menghadiri peringatan Hari Jadi Kabupaten ke-51, Kamis, 26 Juni 2025.
Pertemuan dan keluhan masyarakat Kecamatan Putri Betung diharapkan menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat. Warga mendesak agar segala kebijakan terkait kawasan hutan dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan menghormati sejarah serta hak-hak masyarakat adat yang telah lama tinggal di wilayah tersebut. [red]