Tapaktuan – Ketua DPC Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) Aceh Selatan, Delky Nofrizal, menyoroti terlambatnya pembahasan rancangan Qanun Pertambangan Rakyat di Aceh. Ia menyebut, jika tak segera dituntaskan tahun ini, marwah Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem, dan bahkan legitimasi kekhususan Aceh melalui UUPA turut dipertaruhkan.
“Gubernur Aceh Muzakir Manaf sudah menyampaikan berulang kali di hadapan publik menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh akan menyegerakan pembahasan rancangan qanun pertambangan rakyat sebagai bentuk upaya dalam pengelolaan SDA di Aceh yang berpihak kepada rakyat, dengan mengakomodir partisipasi rakyat dalam pengelolaan SDA secara legal, ramah lingkungan dan berkelanjutan,” ungkap Ketua DPC APRI Aceh Selatan, Delky Nofrizal Qutni, Sabtu malam, 19 April 2025.
Namun mirisnya, kata Delky, pernyataan dan janji Mualem menyegerakan pembahasan rancangan qanun tersebut sepertinya berpotensi akan pupus ditengah jalan, mengingat hingga saat ini naskah akademik untuk pembuatan rancangan qanun ini pun belum final.
Sebagai Gubernur Aceh, lanjut Delky, Mualem seharusnya dapat menggenjot bahkan mengevaluasi kerja SKPK terkait yang terkesan geraknya begitu lambat. “Mualem bisa saja copot Kepala SKPK yang tak siap menjalankan perintah Mualem, apalagi jika bicara naskah akademik bukan lah persoalan yang begitu super rumit, pemerintah Aceh bisa saja bersinergi dengan akademisi-akademisi yang ada di kampus-kampus atau lembaga profesional lainnya,” ujarnya.
Kata Delky, Mualem sebagai komando Partai Aceh yang merupakan partai penguasa parlemen Aceh tentunya langsung memerintahkan para kader dan partai koalisinya untuk bekerja ekstra. “Jika tidak, maka publik akan menilai bahwa Mualem tidak konsisten kepada persoalan kerakyatan dalam pengelolaan SDA. Bahkan tidak menutup kemungkinan legitimasi UUPA yang merupakan kekhususan Aceh akan menjadi pertanyaan di masyarakat, apa seh spesialisasi UUPA itu bagi rakyat Aceh dalam pengelolaan SDA. Toh, di daerah lain yang tak ada kekhususan seperti di Aceh banyak yang sudah ditetapkan WPR nya bahkan IPR juga sudah berjalan. Hal-hal seperti itu dapat mempengaruhi presepsi publik terhadap kekhususan Aceh itu sendiri,”sebutnya.
Delky menjelaskan, UUPA secara tegas memberi kewenangan kepada Pemerintah Aceh dalam mengelola sumber daya alam, termasuk pertambangan rakyat. Hal ini tertuang dalam Pasal 7 dan Pasal 156 UUPA, serta diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015.
Namun, hingga kini, naskah akademik qanun tersebut belum juga rampung. Delky menilai lambannya kinerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) dan pihak terkait menunjukkan lemahnya komitmen politik dalam merealisasikan janji tersebut.
Kendatipun raqan terkait pertambangan rakyat sudah masuk dalam prolegda 2024-2029, namun jika ditunda-tunda pembahasannya selain berpotensi masuk angin dikarenakan banyaknya para korporate yang berkepentingan dan sengaja menghambat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA.
“Sebagai Gubernur dan Panglima Rakyat Aceh kami berharap Mualem akan tegas dalam bersikap dan siap mengevaluasi kinerja bawahannya yang tidak mempertimbangkan soal komitmen Mualem kepada rakyat. Kalau ada bawahannya yang tak mau jalankan perintah Mualem atau sudah masuk angin, sebagai pimpinan Mualem tinggal copot. Jadi tak ada alasan jika qanun pertambangan rakyat yang sudah dijanjikan Mualem kepada masyarakat akan disegerakan itu ditunda-tunda hingga molor dan masuk angin,”imbuhnya.
Menurut Delky, keterlambatan rancangan qanun pertambangan rakyat ini rawan dipengaruhi dan disusupi oleh kepentingan korporasi yang enggan melihat rakyat terlibat dalam pengelolaan tambang.
“Di daerah lain tanpa kekhususan saja wilayah pertambangan rakyat dan Izin pertambangan rakyat sudah berjalan. Jika Aceh yang punya UUPA saja ketinggalan, lalu apa makna kekhususan itu bagi rakyat Aceh?” tambahnya.
Delky berharap Mualem sebagai Panglima Rakyat Aceh tidak membiarkan janji ini menguap begitu saja. “Tinggal tujuh bulan lagi di tahun ini. Kalau anggarannya belum ada, Gubernur tinggal alokasikan. Jangan sampai rakyat hanya dapat janji, sementara wilayah tambang sudah dikapling habis perusahaan,” ucapnya.
Jangan sampai ketika qanun pertambangan selesai dan akan dilakukan penetapan WPR, namun semua wilayah pertambangan (WP) sudah dalam klaim WIUP izin eksplorasi perusahaan. Terakhir masyarakat hanya seperti terima cek kosong dari penetapan qanun tersebut.
“Jadi, sebagai Panglima Rakyat Aceh Mualem harus mempertimbangkan hal tersebut demi kemaslahatan rakyat Aceh,” pungkasnya. (RED)