Opini oleh : Sri Radjasa Chandra
Di tengah carut marut tata kelola pemerintahan Aceh, dengan dampak yang amat berpengaruh terhadap kualitas kesejahteraan rakyat Aceh, akibat praktek korupsi sistemik yang terjadi disemua jajaran SKPA Provinsi Aceh. Disamping itu kuatnya pendekatan “management konflik” dilingkungan eksekutif dan legislative Aceh, telah menciptakan lingkungan kerja dan komunikasi yang tidak kondusif bagi pencapaian pembangunan Aceh yang berpihak kepada rakyat.
Dihadapkan oleh keterpurukan kinerja Pemerintah Aceh, alih-alih Pj Gubernur Aceh mengambil langkah taktis untuk membenahi internal jajaran Pemerintahan Aceh, dalam rangka mewujudkan clean government, malah melakukan kebijakan yang amat mencederai etika profesionalisme
dan rasa keadilan, dengan menganugrahkan penghargaan inovasi Aceh kepada 15 SKPA, atas pertimbangan para penerima penghargaan telah dan terus melakukan pembaharuan yang inovatif di segala sektor sesuai dengan wewenang dan tanggungjawabnya serta mendorong terciptanya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan masyarakat yang lebih produktif, efisien dan efektif. Penghargaan tersebut diberikan oleh Pj Gubernur Aceh yang diwakili Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekda Aceh, Mawardi, dalam sebuah acara di Anjong Mon Mata Komplek Meuligoe Gubernur, Jumat 8 Desember 2023.
Apa yang menjadi parameter Pemerintah Aceh dalam menetapkan 15 SKPA berhak menerima penganugrahan Inovasi Aceh, diantaranya seperti Rumah Sakit Umum Zainal Abidin, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan Biro Pengadaan Barang dan Jasa, selama ini dikuasai oleh oligarki local yang mendapat restu dari Godfather Aceh, untuk melakukan praktek monopoli paket proyek-proyek, demi mengejar rente. Terlebih lagi sebuah media local Aceh, memuat berita tentang dugaan kasus penipuan yang melibatkan kerabat Pj Gubernur Aceh, dengan modus “percaloan paket proyek di Dinas Kesehatan Aceh”.
Dibutuhkan kejujuran untuk menyelamatkan Aceh yang babak belur akibat kualitas kepemimpinan yang sama sekali tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin dan memiliki mental pecundang. Sesungguhnya rakyat sangat mengetahui sepak terjang elite eksekutif dan legislative Aceh yang hanya mengais sampah proyek untuk mengejar rente. Tidak perlu berlindung dibalik narasi “rekayasa penghargaan” hanya untuk memperoleh pencitraan murahan dan sesat serta pembohongan public yang hanya semakin membuat rakyat muak. Apalagi lagi yang harus dipertahankan semata mata demi menjaga harga diri oleh pemangku kebijakan di Aceh, ketika tidak adalagi legitimasi dari rakyat Aceh.
Penulis adalah Pemerhati Aceh