Oleh: Teuku Zikril Hakim
Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-raniry, Komunikasi dan Penyiaran Islam
Di negeri yang dirajut dari ribuan pulau, ratusan Bahasa terpelihara dari moyang, dan berbagai iman hidup dan berkembang, Indonesia berdiri sebagai mozaik agung dalam sejarah dunia. Di tengah kemajemukan itu, kita sering bertanya bagaimana caranya agar perbedaan itu tidak menjadi jurang? Bagaimana agar perbedaan itu tidak menjadi Batasan? melainkan menjadi sebuah jembatan?
Jawabannya bukan sekadar pada sila, bukan semata pada undang-undang. Ia harus dihidupkan dan ditumbuhkan dalam konsep berfikir, dan didiktum menjadi keteladanan. Banyak orang-orang terkenal dalam sejarah keilmuan menggagaskan ide ini. John Locke, seorang filsuf dari Inggris pernah berkata, “Toleransi adalah bahan pokok dari masyarakat yang damai”. Begitupun dengan Voltaire seorang pemikir Humanis dari Prancis menandaskan hal yang sama, “Saya mungkin tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tetapi saya akan membela hak Anda untuk mengatakannya”.
Namun jauh sebelum orang-orang terkenal ini mengeforisasi kata-kata toleran, jauh sebelum dunia berbicara hak asasi, jauh sebelum bangsa-bangsa berdialektika tentang pluralisme. Nabi kita, Muhammad SAW merupakan pelopor yang sesungguhnya dari konsep yang dianggap sebagai tiang Utopia, yaitu Toleransi.
“Wahai manusia, ketahuilah bahwa Tuhanmu satu dan bapakmu satu. Seorang Arab tidak lebih mulia dari seorang non-Arab. Putih tidak lebih mulia dari hitam, dan hitam tidak lebih mulia dari putih, kecuali karena takwa”. Begitulah khotbah terakhirnya di Padang Arafah, suara yang digemakan bukan hanya bagi umatnya, tapi bagi seluruh umat manusia.
Bayangkan! Kata-kata ini lahir dari seorang pemimpin bangsa gurun abad ke-7, namun bukankah terasa lebih relevan dari banyak pidato di abad ke-21. Di saat dunia masih larut dalam kasta, disaat suasana masih terfokus pada kesukuan dan warna kulit, beliau menyuarakan kesetaraan. Yang hebatnya beliau tidak hanya berbicara tentang konsep, tapi beliau mewujudkannya. Dalam Piagam Madinah, Rasulullah menyusun tatanan sosial yang mengakui hak semua kelompok dan agama. Muslim, Yahudi, Nasrasni, Arab, Persia dan kaum lain. Mereka tidak dipaksa menyeragam, tapi diajak saling menjaga. Ini bukan kompromi politik, tapi ini adalah visi kemanusiaan.
Di bumi Indonesia yang majemuk ini, ajaran Nabi terasa seperti kompas moral yang tak pernah usang. Ketika Sumpah Pemuda digemakan dan Bhinneka Tunggal Ika dijunjung sebagai semboyan, sesungguhnya semangat Nabi kita telah hadir di antara baris-baris tekad itu. Semangat untuk hidup bersama dalam damai, tanpa harus menyeragamkan kepercayaan.
Toleransi ala Rasulullah bukan berarti membenarkan semua hal, tapi memahami bahwa kebenaran tidak memerlukan kekerasan untuk disampaikan. Bahwa perbedaan bukanlah dosa, tetapi bagian dari sunatullah. Ia mengajarkan bahwa cinta kepada sesama adalah buah dari cinta kepada Tuhan.
Dan Hari ini, di era digital yang penuh bising dan kebencian instan ini. Kita seperti ditantang untuk mengikuti jejak dan amanah yang beliau tinggalkan. Mampukah kita menahan lidah dari sulutan emosi? Mampukah kita menahan jari dari panasnya suasana maya? Mampukah kita meneladani Nabi bukan hanya di mimbar, tapi dalam tutur dan sikap?
Jika Nabi kita pernah menanamkan benih toleransi di tanah tandus Arab, maka kita sebagai umatnya yang hidup dalam kecanggihan era, yang hidup dengan kemajuan peradaban, harus bisa menjadikannya sebagai pohon yang menaungi bangsa. Karena toleransi bukanlah sekedar wacana. Ia adalah warisan, dan iman yang harus dijaga.(**)