Banda Aceh – Museum Tsunami Aceh kembali menghidupkan ruang-ruang edukasinya melalui pameran temporer kebencanaan bertema “Kenali Bencana, Bersiap Sebelum Terlambat” yang resmi dibuka pada Rabu (9/7/2025). Pameran ini merupakan kerja sama antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh dengan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) serta Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Aceh.
Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat literasi kebencanaan di tengah masyarakat, dengan memadukan pendekatan sejarah, budaya, dan teknologi. Berbagai instalasi edukatif, dokumentasi visual, serta narasi berbasis data dihadirkan secara interaktif untuk memperkaya pemahaman pengunjung terhadap dinamika kebencanaan, baik yang bersifat alamiah maupun non-alamiah.
Kepala Disbudpar Aceh, Almuniza Kamal, dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Kepala UPTD Museum Tsunami Aceh, M. Syahputra AZ, menyampaikan bahwa pameran ini dirancang tidak hanya sebagai ruang reflektif atas peristiwa masa lalu, tetapi juga sebagai wahana belajar menuju masa depan yang lebih tangguh.
“Tujuan utama pameran ini adalah meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap berbagai jenis bencana, khususnya dalam memahami prosedur evakuasi yang aman dan tepat,” ujarnya.
Menurut Almuniza, melalui pendekatan budaya dan edukasi publik, masyarakat diharapkan dapat memahami bahwa mitigasi bencana bukan hanya urusan pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama. Museum pun bertransformasi menjadi sarana penyebaran informasi yang hidup dan terus bergerak.
Sementara itu, Kepala Pelaksana BPBA, Teuku Nara Setia, menegaskan bahwa pentingnya membangun kesadaran kolektif sejak dini tidak bisa ditawar lagi. Ia menyebut pameran ini sebagai “laboratorium ketangguhan bangsa” yang menawarkan cara baru dalam memahami bencana secara lebih dekat dan personal.
“Pameran ini bukan sekadar mengenang tragedi, tetapi juga menumbuhkan semangat kesiapsiagaan. Kita tidak bisa menghindari bencana, tapi kita bisa mengurangi dampaknya secara signifikan jika kita paham dan siap,” kata Nara.
Ia juga berharap kehadiran pameran ini bisa mendorong partisipasi aktif dari generasi muda, pelajar, dan komunitas lokal untuk menjadi agen perubahan di lingkungannya. Menurutnya, penguatan budaya siaga bencana harus dimulai dari ruang-ruang literasi publik yang terbuka dan inklusif seperti museum.
“Melalui pameran ini, Museum Tsunami Aceh diharapkan menjadi living monument—monumen yang hidup—yang mampu mengubah memori kolektif tentang trauma menjadi energi kesiapsiagaan,” tutup Nara.
Pameran ini terbuka untuk umum dan akan berlangsung selama beberapa minggu ke depan. Panitia mengajak masyarakat, khususnya institusi pendidikan, untuk menjadikan momen ini sebagai bagian dari pembelajaran luar ruang yang bermakna.