Jakarta : Fenomena baru muncul di sejumlah kementerian, BUMN, serta lembaga publik, di mana para pegawai secara serempak mengunggah ucapan ulang tahun kepada pimpinan melalui status media sosial pribadi, terutama WhatsApp, 08/12/2025.
Unggahan tersebut kerap menampilkan identitas institusi dan visual seragam, sehingga menimbulkan tanda tanya publik mengenai motif dan budaya yang tengah dibangun di dalam birokrasi.
Kukuh Priyono, Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), memberikan sorotan kritis terhadap praktik tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, meski sekilas terlihat sebagai ekspresi personal, pola unggahan yang masif, serempak, dan seragam justru mengindikasikan persoalan etika organisasi yang tidak boleh diabaikan.
“Bukan Pidana, tapi Jelas Masalah Etika Organisasi, tegas Kukuh”
Kukuh menegaskan bahwa fenomena tersebut tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
“Selama tidak menggunakan anggaran negara, tidak merugikan keuangan publik, dan tidak ada instruksi formal yang memaksa, maka tidak bisa disebut korupsi. Namun ketiadaan unsur pidana tidak otomatis menjadikan ini sehat secara etika,” Ujar Kukuh.
Ia menilai bahwa organisasi publik modern semestinya dibangun atas prinsip profesionalisme dan meritokrasi, bukan simbol loyalitas personal.
Kukuh mengatakan, Bahwa kemunculan puluhan hingga ratusan ucapan ulang tahun. yang seragam pada waktu bersamaan menimbulkan kesan kuat adanya tekanan konformitas sosial, ketimpangan relasi kuasa, serta pembentukan loyalitas kepada individu, bukan institusi.
“Ini cenderung mencerminkan budaya feodal. Pegawai seperti diarahkan secara tersirat atau tidak untuk menunjukkan kesetiaan personal. Padahal organisasi publik harus bebas dari kultus individu,” Katanya.
Menurut Kukuh, budaya seperti ini menggerus ruang kritik dan diskusi sehat dalam lembaga publik.
Fenomena ini, menurut Kukuh, dapat membawa konsekuensi serius dalam jangka panjang jika dibiarkan:
batas antara ranah pribadi dan jabatan publik menjadi kabur, muncul normalisasi budaya “asal pimpinan senang” serta melemahkan integritas, profesionalitas, dan independensi internal.
“Ini berbahaya. Institusi negara harus bekerja berdasarkan sistem, bukan berdasarkan figur. Jika budaya simbolik seperti ini dibiarkan, maka tata kelola organisasi bisa rusak dari dalam,” Tegasnya.
Kukuh menilai bahwa pimpinan merupakan pihak yang paling berkewajiban menghentikan tumbuhnya budaya tidak sehat tersebut.
“Pemimpin yang visioner tidak akan membiarkan munculnya kultus individu. Ia harus menjaga jarak simbolik yang wajar dan menegaskan bahwa penghormatan terbaik adalah kinerja, bukan seremoni ulang tahun,” Ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pemimpin harus memberi contoh bahwa integritas lebih penting daripada pujian seremonial.
Kukuh menegaskan bahwa fenomena ucapan ulang tahun serempak ini bukan sekadar persoalan kecil atau remeh-temeh.
“Ini tentang pendidikan etika kekuasaan. Birokrasi harus dibangun berdasarkan aturan, akuntabilitas, dan etika tinggi. Bukan sekadar tidak melanggar hukum, tetapi juga menjaga marwah institusi,” Tuturnya.
Menurutnya, masyarakat memiliki hak moral untuk mengingatkan, sementara lembaga negara berkewajiban menjaga standar etika yang lebih tinggi.
Fenomena ini disebutnya sebagai momentum refleksi bagi semua pihak untuk memastikan bahwa budaya organisasi di lembaga publik tetap profesional, transparan, dan terbebas dari praktik simbolik yang berpotensi merusak tata kelola.


































