Oleh: Awan Renul (Fathan Muhammad Taufiq)
Sepasang suami istri, Aman Ali dan Inen Ali, sedang berada di kebun kecil mereka tak jauh dari pinggiran Danau Laut Tawar. Inen Ali sibuk memetik daun ranti (disebut juga rukut) untuk sayur makan siang, sementara Aman Ali mengorek kunyit menggunakan cangkul, bumbu untuk ikan hasil tangkapan mereka pagi tadi.
Ketika mereka tengah asyik dengan pekerjaan masing-masing, tiba-tiba datang seorang bule menyapa dengan senyum ramah.
“Good morning,” sapanya.
“Yoh belene ari si ni, betehe pedi kite tengah nangkap rukut urum kuning,” gumam Aman Ali agak heran tapi tetap ramah.
Si bule tersenyum dan mengulurkan tangannya.
“I am a visitor from Croatia,” katanya memperkenalkan diri.
“Yoh, betul pedeh Win, ike I iwih ni lut ni memang mupisit gere muketor,” sahut Aman Ali dengan nada biasa saja, seakan bule itu sudah biasa datang.
“Where is your house?” tanya si bule penasaran.
“Oo, gerahan keta ko, entah kite kumah, kati tos inen uwin so kupi,” jawab Aman Ali sembari melirik istrinya. Si bule hanya tersenyum, jelas ia tidak mengerti.
Aman Ali dan Inen Ali pun beranjak meninggalkan kebun, berjalan santai ke rumah. Si bule rupanya tertarik dan ikut berjalan di belakang mereka.
“How far is your house from here?” tanya si bule lagi.
“Ini Toweren Win, dekat we umahku ari ini, ike Mepar gip i serap so,” jawab Aman Ali sambil menunjuk ke seberang danau. Si bule hanya mengangguk-angguk, masih tidak paham tapi tetap tertarik mengikuti.
Setibanya di rumah, Aman Ali mempersilakan tamu asing itu duduk.
“Kunul ko mulo Win, dedang tos pake umah ni kupi,” katanya ramah. Si bule duduk di bangku kayu di teras rumah. Tak lama, Inen Ali datang membawa dua gelas kopi panas.
“Oh, thank you for your coffee,” ujar si bule senang.
“A betul mien ko, inumen kupi ni kati enti mayo kuyu,” jawab Aman Ali, menyilakan si bule minum. Si bule pun menyeruput kopi Gayo itu dengan nikmat.
“Oh my God, this coffee is very good and delicious,” katanya kagum.
“Yoh, ningko nge iosah kupi pe niro gutel mien,” sahut Aman Ali sambil tersenyum.
“Woi Inen Win, ara ke ilen gutel mane?” lanjutnya pada sang istri.
“Ara ilen Aman Uwin, mera ke pangan belene a?” jawab Inen Ali sambil membawa sepiring gutel ke teras.
“Ini Win, gutel si tiro ko ne. I panganan nye, inget bolonen,” jelas Aman Ali sambil menyodorkan makanan tradisional itu. Si bule kembali manggut-manggut.
“Thank you, it’s a happy morning for me,” ucap si bule senang.
“Boh mi Win, isien ruhul ni kite mangan, so ara gule tengah I tetah ibumu urum awas kuning ne, dedang tasak gule pora mi ku ango mi ku kede sie,” sahut Aman Ali sambil terkekeh. Tak lama keduanya tertawa.
Tak jelas apa yang membuat mereka tertawa—apakah karena kopi, karena gutel, atau karena obrolan yang saling tak dipahami. Tapi yang pasti, hangatnya pagi itu menyatukan dua bahasa yang berbeda dalam satu rasa: keramahan.