Oleh : Dr. Mahdi, S.Ag.MA
Pidie Jaya Baranewsaceh.co | Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) merupakan agenda rutin dua tahunan yang diselenggarakan berjenjang dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional hingga internasional. Kegiatan ini mendapat dukungan moril dan material dari pemerintah serta para sponsor, sehingga penyelenggaraan even yang digerakkan oleh Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) selalu berlangsung meriah dan penuh semangat religius.
MTQ tingkat nasional pertama kali digelar pada tahun 1968 di Makassar, Sulawesi Selatan. Saat itu, hanya cabang tilawah dewasa yang diperlombakan, dan melahirkan dua qari legendaris: Ahmad Syahid dari Jawa Barat dan Muhammadong dari Sulawesi Selatan. Seiring berjalannya waktu, even keagamaan ini terus berkembang. Kini, MTQ tidak hanya menampilkan keindahan suara dalam melantunkan ayat suci, tetapi juga mencakup berbagai cabang seperti Musabaqah Hifzhil Qur’an (MHQ), Syarhil Qur’an (MSQ), Fahmil Qur’an (MFQ), Khath al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an, hingga Karya Tulis Ilmiah al-Qur’an (MKIQ) serta Musabaqah Hafalan Hadis.
Tujuan pokok MTQ adalah menumbuhkan semangat pengamalan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Ia menjadi sarana dakwah yang memadukan unsur penampilan dan ritual, syiar dan ibadah, sehingga menjelma menjadi sebuah festival keagamaan yang sarat nilai spiritual sekaligus sosial. Festivalisasi MTQ ini mencerminkan dinamika masyarakat dalam mengekspresikan kecintaan terhadap kalam Ilahi dengan cara yang indah dan bermartabat.
Bagi orang beriman, Al-Qur’an bukan hanya al-huda (petunjuk), tetapi juga sumber kebahagiaan dan keindahan. Resepsi estetik terhadap Al-Qur’an menjadi bagian dari pengalaman spiritual: mendengarkan lantunan ayat suci adalah proses penyerapan makna dan rasa. Estetika ini bukan sekadar seni suara, melainkan jalan untuk merasakan mukjizat yang tak lekang oleh zaman, sebagaimana jaminan Allah dalam surah Al-Hijr: 9. Antusiasme masyarakat yang memadati setiap arena MTQ menjadi bukti nyata resepsi tersebut.
Bagi kaum a’jam (non-Arab), memahami keindahan Al-Qur’an dapat dimulai dari aspek estetik dan stilistiknya. Lantunan ayat-ayat suci ibarat magnet yang menggetarkan hati dan menghadirkan kedamaian. Dalam suasana MTQ, batas-batas sosial, jabatan, dan status luluh dalam kekhusyukan; semua hadir sebagai hamba yang sama-sama ingin menyimak firman Allah.
Manusia, dalam segala kedudukannya, diperintahkan untuk bersyukur, beribadah, dan bersujud kepada Allah. Akal, lisan, dan suara adalah instrumen ibadah yang dapat digunakan untuk membaca dan menghidupkan Al-Qur’an sumber ilmu yang tiada bertepi, sebagaimana disebut dalam Al-Kahf: 109.
Kini, perhelatan MTQ semakin spektakuler. Keterlibatan event organizer (EO) profesional menambah kemeriahan acara, mengukuhkan bahwa syiar Islam juga mampu tampil modern tanpa kehilangan substansi spiritualnya. Tidak ada salahnya jika MTQ dikemas menarik dan berteknologi tinggi, selama tujuan utamanya tetap untuk mencari ridha Allah SWT.
Lebih dari sekadar lomba, MTQ adalah momentum evaluasi bersama bagi pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan individu. Kuantitas ahlul Qur’an yang terus bertambah mesti diimbangi dengan peningkatan kualitas. Setiap peserta, pelatih, dan panitia memikul tanggung jawab moral karena di pundak mereka tersemat kehormatan daerah dan marwah umat.
Namun, keberhasilan MTQ tidak hanya diukur dari kemegahan acara atau banyaknya medali. Keberhasilan sejati terletak pada kemampuan semua pihak — peserta, pelatih, lembaga, pemerintah, dan masyarakat untuk menjadikan MTQ sebagai sarana lahirnya generasi Qurani dan Rabbani: generasi yang tidak hanya pandai membaca, tetapi juga hidup bersama nilai-nilai Al-Qur’an dalam setiap gerak kehidupannya.
Pidie Jaya 5 November 2025
Penulis ASN pada kementrian Agama kabupaten Bener Meriah dan pemerhati sosial ke agamaan












































