Oleh; Fauzan Azima*
EMPAT orang pemuda kampung bersepakat mencari rezeki dengan cara tak wajar. Mereka masuk ke hutan untuk menuntut ilmu hitam demi kekayaan. Orang-orang menyebutnya sebagai pesugihan atau jalan pintas untuk mendapatkan uang dan kekayaan.
Di hutan, empat sekawan itu melaksanakan ritual babi ngepet. Terminologi Aceh tidak mengenal istilah babi ngepet yang populer di kalangan masyarakat Jawa. Kalau pun dipaksakan dalam bahasa Aceh istilah babi ngepet menjadi “bui jieseup” atau “setan bui” untuk merampok kekayaan orang dengan cara gaib.
Demikianlah, setelah mengasingkan diri selama 44 hari yang jauh dari kampung, akhirnya mereka bertemu dengan siluman babi. Ini jelas bukan usaha yang mudah. Namun setiap usaha yang dilaksanaan dengan sungguh-sungguh, walaupun agak miring-miring ke kiri, tidak sia-sia.
Setelah bertemu siluman babi, empat pemuda itu akhrinya bertemu menguasai ilmu babi ngepet secara sempurna. Sebagai sesama petapa, mereka merasa perlu membangun jiwa corsa dan sepakat bergerak dalam satu wadah bernama “Perhimpunan Babi Ngepet and The Gank”.
Dari nama ini tumbuh semangat kebersamaan dan kekompakan. Apalagi usaha mereka masuk dalam kelompok usaha berisiko tinggi; menggasak harta orang lain. Mereka harus saling bantu saat satu dari mereka berkasus.
Nah, ilmu telah dikuasai. Organisasi pun terbentuk. Jiwa korsa terpantri di hati. Kini tinggal beraksi. Apalah arti ilmu tinggi jika tidak dipraktikkan. Mereka pun mencoba peruntungan dengan aksi pertama.
Malam itu, mereka menyediakan sesaji di atas kembang setaman, minyak wangi, kopi pahit, kemenyan, darah ayam cemani, dan baskom berisi air. Di bagian tengah baskom terdapat lilin yang menyala.
Sementara itu, bentuk kerja sama istri-istri ke-empat pemuda itu adalah tetap setia menjaga api lilin agar tetap tenang. Apabila sewaktu-waktu api dari lilin bergoyang, sang istri harus memadamkan supaya suami mereka yang menjelma menjadi babi ngepet selamat dari amukan massa.
Selanjutnya, ke-empat pemuda itu membungkus badan dengan kain hitam. Setelah merapal mantra, mereka pun menjelma menjadi babi. Meski tubuh mereka babi, otak mereka tetap otak manusia. Meski dalam wujud babi mereka harus tetap waspada untuk berkeliling kampung menggasak harta benda warga.
Babi ngepet itu menggesek-gesekan badan mereka ke dinding rumah yang ditarget dan secara ajaib uang serta perhiasan berpindah kepada mereka. Sebelum matahari terbit para babi ngepet pulang ke rumah masing-masing. Dan di dalam kain hitam, terkumpul uang dan perhiasan senilai lebih dari Rp 22 juta.
Hasil yang lumayan untuk kerja semalam. Setelah dibagi sesuai dengan kesepakatan, empat sekawan itu memberikan uang hasil usaha mereka kepada istri mereka masing-masing yang setia selama mereka beroperasi.
Salah seorang istri dari genk babi ngepet ini gemar live di Tiktok dan memamerkan hasil usaha suaminya dengan cara haram. Ya, tentu ini adalah tindakan wajar. Apalagi si istri juga mendapatkan jatah dari setiap aksi kejahatan mereka. Jadi, bisa disimpulkan, kerjasama dan kesetiaan istri adalah kunci keberhasilan aksi babi ngepet.
Aksi demi aksi babi ngepet terus dilakukan. Tentu dalam skala yang lebih besar. Dan belum begitu lama aksi mereka beritanya sempat viral karena dalam semalam mereka bisa merampok lebih dari Rp. 70 juta.
Uang dan barang berharga warga kampung terus menerus dirampok. Sementara aparat kampung tidak bisa bertindak. Padahal warga tahu, sejurus dengan raibnya harta warga, empat pemuda itu bergelimang harta. Mereka tanpa ragu memamerkan harta rampokannya di media sosial.
Meskipun nyata sudah mereka merampas harta warga, namun hukum di negeri ini tidak mampu menjeratnya. Apalagi empat sekawan ini dikenal luas, benar-benar licin. Bahkan meski masyarakat tahu bahwa babi ngepet itu adalah mereka, hampir tak ada bukti yang kuat untuk menjerat mereka ke mahkamah kampung.
Hanya ada desas-desus. Sementara mereka terus menumpuk kekayaan dengan jumlah yang di luar nalar. Aksi ini terus mereka lakukan. Gaya hidup mereka pun perlahan berubah. Menjadi lebih hedon. Bahkan salah satu dari mereka ingin mencalonkan diri menjadi kepala desa.
Mungkin dia sudah bosah menggesek-gesekkan badan ke dinding rumah warga sehingga merasa perlu memegang brangkas dana gampong.
Bagi empat sekawan itu, babi ngepet hanyalah jalan untuk menumpuk kekayaan. Jika satu saat nanti mereka harus menjadi siluman babi sebagai panutan pemuda kampung yang ingin menjadi babi ngepet, itu tidak masalah.
Malah dari kacamata bisnis, sangat baik menciptakan ekosistem babi ngepet. Empat sekawan itu tinggal menunggu upeti dari junior mereka di rumah masing-masing sambil live di Tiktok.
(*Mantan Panglima GAM Linge)