Negara Sakit, Butuh Pemimpin yang Melampaui Kewarasan Politik

Redaksi Bara News

- Redaksi

Sabtu, 8 November 2025 - 02:54 WIB

50133 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

Ada masa dalam sejarah bangsa ketika hukum kehilangan arah, moral publik runtuh, dan korupsi menjadi tradisi baru yang dilembagakan. Pada saat seperti itu, negara tidak cukup disembuhkan dengan prosedur normal. Ia butuh guncangan, kejutan moral, dan kepemimpinan yang berani menabrak tembok kekuasaan. Indonesia kini berada pada masa seperti itu, masa ketika sistem politik terlalu mapan untuk berubah, tapi terlalu rapuh untuk menegakkan kebenaran.
Kita hidup di tengah paradoks, dimana hukum ditegakkan tapi keadilan dipelintir; ekonomi tumbuh tapi ketimpangan melebar; demokrasi dijunjung tapi kekuasaan hanya berpindah tangan di antara lingkar oligarki. Laporan Transparency International tahun 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi turun dari posisi 110 tahun sebelumnya. Penurunan ini bukan sekadar angka, melainkan cermin bahwa korupsi telah menjadi sistem sosial baru yang hidup di tubuh birokrasi dan politik.

Dalam kondisi darurat moral semacam ini, bangsa tidak butuh presiden yang pandai menata citra atau bersandiwara di depan kamera. Bangsa butuh presiden yang “gila” dalam pengertian berani melawan kemapanan, berani menabrak aturan yang membiarkan rakyat tertindas, dan berani mengintervensi sistem hukum yang telah berubah menjadi alat dagang kekuasaan.
Namun, kegilaan yang dimaksud bukanlah amarah tanpa arah. Ia adalah kegilaan moral yakni keberanian untuk bertindak di luar kotak rasionalitas politik demi menegakkan keadilan substantif.

Karena pada dasarnya, hanya pemimpin yang telah berdamai dengan dirinya yang bisa benar-benar berpihak pada rakyat.
Sayangnya, yang banyak muncul justru presiden yang pura-pura gila. Mereka berteriak soal perubahan tapi bersekutu dengan oligarki; bicara keberpihakan tapi sibuk membangun dinasti politik; menampilkan kesederhanaan namun hidup di atas kenyamanan privilese. Inilah ironi besar demokrasi kita, dimana rakyat memilih dengan harapan, tapi yang lahir justru aktor dengan naskah kekuasaan yang sama.

*Belajar dari “Kegilaan” Seorang Sultan*

Sejarah bangsa ini pernah mengenal pemimpin yang “gila” dalam arti sejati yakni Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh Darussalam (1607–1636). Ketika naik tahta, Aceh berada dalam kekacauan, dimana para ulee balang berkhianat, rakyat kelaparan, dan sumber ekonomi dikuasai segelintir orang kaya. Iskandar Muda muda, tapi tidak ragu mengambil langkah ekstrem.

Ia memberi ultimatum keras kepada para bangsawan pembangkang dihukum mati jika menolak tunduk pada hukum. Harta para oligarki disita dan dibagikan kepada rakyat miskin.

Langkah revolusioner itu membuat stabilitas sosial pulih, kelaparan mereda, dan rakyat kembali percaya pada keadilan. Aceh pun bangkit menjadi salah satu kerajaan Islam paling makmur di Asia Tenggara. Namun kegilaan moral Iskandar Muda mencapai puncaknya ketika ia menghukum mati putra mahkotanya sendiri, Meurah Pupok, karena melanggar hukum. Dari tragedi itu lahirlah kalimat abadi “Mate aneuk meupat jerat, gadoh adat pat tajak mita (Mati anak ada kuburnya, hilang adat ke mana hendak dicari).”

Itulah batas antara pemimpin sejati dan penguasa palsu. Seorang pemimpin “gila” rela kehilangan anak demi hukum, sementara pemimpin pura-pura gila justru rela menjual hukum demi anak, keluarga, dan partainya.

Dalam filsafat kenegaraan, tindakan Iskandar Muda mencerminkan apa yang disebut Plato sebagai philosopher king, yaitu pemimpin yang dijiwai cinta akan kebenaran dan menempatkan keadilan di atas segala kepentingan. Kegilaannya bukan dalam arti emosional, melainkan keberanian melampaui rasionalitas kekuasaan demi moralitas publik.

Indonesia hari ini butuh semangat kegilaan semacam itu, dimana presiden yang berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu, yang berani melawan arus oligarki sekalipun berisiko kehilangan tahta. Dalam istilah Niccolò Machiavelli, seorang penguasa memang boleh menggunakan kekerasan politik demi stabilitas, tetapi hanya jika kekerasan itu ditujukan untuk kepentingan publik, bukan untuk melanggengkan kekuasaan.

*Di Antara Akal Sehat dan Keberanian Moral*
Masalah utama bangsa ini bukan karena kita tidak punya orang pintar, tetapi karena kita tidak punya orang berani. Rasionalitas politik sering kali dijadikan tameng untuk membenarkan ketakutan moral. Para pemimpin beralasan bahwa mereka harus “realistis” dalam menghadapi oligarki atau kompromi dalam politik, padahal sesungguhnya mereka hanya takut kehilangan kekuasaan.

Padahal dalam filsafat politik klasik, rasionalitas tanpa moral adalah bentuk lain dari kegilaan. Max Weber menyebutnya sebagai instrumental rationality, yakni akal yang hanya digunakan untuk mencapai tujuan, tanpa peduli nilai. Ketika rasionalitas seperti ini mendominasi, negara kehilangan jiwanya.

Kita membutuhkan presiden yang mau “gila” dalam pengertian Weberian yang terbalik, bukan rasional secara instrumen, tapi rasional secara nilai. Artinya, segala kebijakan harus berpijak pada keadilan sosial, bukan pada kalkulasi politik. Ia harus berani melawan arus opini, bahkan jika itu membuatnya dibenci oleh elit yang diuntungkan oleh status quo.

*Demokrasi yang Tersandera Kepura-puraan*

Demokrasi kita kini telah berubah menjadi arena sandiwara besar. Pemimpin tampil dengan pakaian rakyat, berbicara dengan logat kesederhanaan, tapi di belakang layar mereka adalah bagian dari elite ekonomi yang sama yang mengendalikan kebijakan publik. Sosiolog Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai symbolic violence, yaitu kekerasan simbolik yang dilakukan melalui kepura-puraan moral. Rakyat dipaksa percaya bahwa pemimpinnya berpihak kepada mereka, padahal kebijakan yang dibuat justru menindas mereka secara sistematis.

Proyek-proyek raksasa yang mengatasnamakan pembangunan sering kali justru menyingkirkan masyarakat adat, merusak lingkungan, dan memperkuat cengkeraman oligarki. Di sisi lain, hukum tetap menjadi alat selektif yang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kita seperti hidup dalam theatre state, di mana hukum hanya menjadi naskah dalam drama kekuasaan.

Ironisnya, sebagian pemimpin justru menikmati peran itu. Mereka memainkan peran “gila” untuk menutupi kelemahan moralnya, yang berteriak lantang soal anti-korupsi sambil melindungi kroni yang mencuri uang rakyat. Mereka menampilkan amarah pura-pura, agar tampak tegas di mata publik. Padahal di belakang panggung, semuanya hanyalah permainan dagang politik.

Bangsa yang Berani “Gila” adalah Bangsa yang Sembuh
Dalam filsafat Yunani, Socrates pernah berkata, “The unexamined life is not worth living”(kehidupan yang tak diperiksa tidak layak dijalani). Maka bangsa yang tak berani memeriksa moral dan nuraninya juga tak layak menyebut diri beradab. Indonesia butuh pemimpin yang berani menjadi cermin bagi bangsanya sendiri, yang mau mengguncang rasa nyaman demi mengembalikan kesadaran publik akan nilai-nilai keadilan.

Kita membutuhkan presiden yang mau melawan dirinya sendiri, bukan hanya melawan lawannya. Presiden yang berani berkata bahwa keadilan lebih penting daripada elektabilitas, bahwa moral lebih berharga daripada pencitraan. Seorang presiden yang “gila” karena mengutamakan nurani dibanding kekuasaan.
Bangsa besar tidak lahir dari pemimpin yang pandai berpura-pura waras, melainkan dari mereka yang berani “gila” dalam menegakkan kebenaran.

Dalam setiap bab sejarah manusia, selalu ada tokoh yang dianggap gila karena menentang arus, namun justru merekalah yang mengubah arah sejarah. Kita tidak butuh presiden yang sekadar memainkan peran kegilaan untuk menutupi kelicikannya. Kita butuh presiden yang benar-benar “gila” karena ia terlalu waras untuk membiarkan bangsanya hancur.

Indonesia bukan kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang gila dalam arti moral, yakni orang yang berani kehilangan jabatan demi kebenaran. Ketika hukum menjadi teater, politik menjadi bisnis, dan moral menjadi retorika, maka keberanian menjadi satu-satunya bentuk kewarasan.
Bangsa ini tak lagi bisa diselamatkan oleh presiden yang berpura-pura gila. Ia hanya bisa diselamatkan oleh presiden yang benar-benar “gila”, yaitu gila melawan korupsi, gila menegakkan keadilan, dan gila mencintai rakyatnya di atas dirinya sendiri.

Berita Terkait

Semangat Memperingati HUT Brimob Ke -80 Ratusan Pencinta Geulayang Tunang Rebut Piala Danyon C Pelopor.
Perpustakaan Sekarang: Tempat Belajar atau Hangout?
Mahasiswa VS AI : Siapakah Yang Lebih Cerdas
Bunda Ana, Istri Mualem Gubernur Aceh, Apresiasi Inovasi Keumamah Katsuobushi PT Suree Aceh
Pengurus PWI Nagan Raya Resmi Dilantik 1 Dekade PWI Nagan Raya tahun 2025 ini Ada 28 orang/lembaga Penerima Anugerah
Malam Anugerah 1 Dekade PWI Nagan Raya Camat Seunagan Timur Terima Penghargaan
RAPI Nagan Raya Ucapkan Selamat Atas 1 Dekade PWI Nagan Raya Dan Pengukuhan Pengurus Baru
Raja Sayang Wabup Nagan Raya Hadiri Pembukaan MTQ Ke-37 Provinsi Aceh di Pidie Jaya

Berita Terkait

Sabtu, 8 November 2025 - 16:57 WIB

Semangat Memperingati HUT Brimob Ke -80 Ratusan Pencinta Geulayang Tunang Rebut Piala Danyon C Pelopor.

Kamis, 6 November 2025 - 16:17 WIB

Perpustakaan Sekarang: Tempat Belajar atau Hangout?

Kamis, 6 November 2025 - 16:08 WIB

Mahasiswa VS AI : Siapakah Yang Lebih Cerdas

Kamis, 6 November 2025 - 12:46 WIB

Bunda Ana, Istri Mualem Gubernur Aceh, Apresiasi Inovasi Keumamah Katsuobushi PT Suree Aceh

Rabu, 5 November 2025 - 15:49 WIB

Pengurus PWI Nagan Raya Resmi Dilantik 1 Dekade PWI Nagan Raya tahun 2025 ini Ada 28 orang/lembaga Penerima Anugerah

Rabu, 5 November 2025 - 15:37 WIB

Malam Anugerah 1 Dekade PWI Nagan Raya Camat Seunagan Timur Terima Penghargaan

Selasa, 4 November 2025 - 23:13 WIB

RAPI Nagan Raya Ucapkan Selamat Atas 1 Dekade PWI Nagan Raya Dan Pengukuhan Pengurus Baru

Senin, 3 November 2025 - 00:09 WIB

Raja Sayang Wabup Nagan Raya Hadiri Pembukaan MTQ Ke-37 Provinsi Aceh di Pidie Jaya

Berita Terbaru

PIDIE JAYA

Catatan Pilu Para Kafilah Bener Meriah Di MTQ Ke 37 Pidie Jaya

Sabtu, 8 Nov 2025 - 17:47 WIB