BANDA ACEH | Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, kembali memantik kontroversi. Kali ini, aksinya di jalan raya Sumatera Utara membuat publik geram, khususnya warga Aceh. Dalam sebuah razia mendadak yang terekam dalam video dan viral di media sosial pada Minggu, 28 September 2025, Bobby secara terbuka memerintahkan kendaraan berpelat Aceh (BL) untuk berhenti dan mengganti plat nomor.
“Kendaraan yang beroperasi dan cari makan di Sumut harus taat pajak di Sumut. Ganti plat sekarang juga,” ujar Bobby keras di hadapan aparat, masyarakat, dan awak media yang ikut menyaksikan adegan tersebut.
Pernyataan itu meledakkan reaksi. Media sosial penuh dengan amarah. Tagar-tagar bernada protes terhadap Bobby bermunculan dan membanjiri beranda jagat maya. Warga Aceh merasa direndahkan, sekaligus diperlakukan tidak adil.
“Sudah Pak Bobby, suruh semua orang Medan yang cari makan di Aceh pakai plat BL juga. Di Aceh tuh banyak banget plat BK!” tulis seorang warganet dalam kolom komentar yang kini telah disukai lebih dari 150 orang.
Kemarahan bukan tanpa alasan. Di mata publik, kendaraan dengan pelat BK (Sumatera Utara) selama ini bebas hilir mudik di tanah rencong tanpa pernah mendapat perlakuan seperti itu. Kini, ketika kendaraan Aceh melintasi jalur Sumut, justru dihentikan dan “dipaksa” tunduk secara sepihak.
Banyak yang menilai langkah Bobby jauh dari semangat persatuan. Tidak sedikit pula yang menyebut ini sebagai bentuk arogansi jabatan dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Jangan main api di atas bara. Relasi Aceh dan Sumut itu sensitif. Kalau pemimpinnya malah memantik api, siapa yang bisa padamkan nanti?” ujar seorang pemerhati sosial-politik daerah yang ikut menyoroti kisruh itu.
Tidak sedikit pula yang melihat aroma politik dalam tindakan Bobby. Kompleksitas Pilkada yang semakin dekat menjadi latar belakang kuat di balik kebijakan yang dinilai terburu-buru, kontroversial, dan minim empati.
Dari sisi konstitusi, sejumlah kalangan mengingatkan bahwa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) adalah dokumen nasional yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Tidak ada dasar hukum bagi satu kepala daerah pun untuk membatasi ruang gerak kendaraan akibat beda wilayah penerbitan plat.
Ironi semakin jelas ketika publik mengingat bahwa Pacuan ekonomi Sumatera Utara pun bertumpu pada peran daerah sekitar, termasuk Aceh. Berbagai komoditas Aceh seperti kopi, sawit, CPO, hingga cangkang kernel diekspor melalui pelabuhan Belawan. Pajaknya? Masuk ke Sumut, bukan ke Aceh.
Namun, Aceh tidak pernah mempermasalahkan. Tidak ada razia terhadap mobil plat BK. Tidak ada ancaman atau ultimatum bernada superior seperti yang kini dilontarkan Bobby di jalanan.
Alih-alih menjadi pemimpin yang meredakan tensi antardaerah, Bobby justru tampil sebagai provokator yang mengancam hubungan antarwilayah dalam bingkai NKRI. Isunya sepele — soal pelat kendaraan. Tapi dampaknya jauh lebih besar: keretakan kepercayaan.
Kini bola panas ada di tangan Bobby. Di tengah kemarahan yang membuncah, publik menunggu: apakah ia tetap bertahan dengan kebijakan yang dianggap diskriminatif itu, atau mundur selangkah demi meredakan gejolak yang terlanjur meledak?
Satu hal yang sudah jelas — retorika anti-disparitas yang dulu ia gaungkan saat kampanye, kini digugurkan oleh aksinya sendiri di persimpangan jalan Sumatera Utara. (*)