ACEH BESAR — Penerapan Syari’at Islam di Aceh kembali menjadi sorotan publik. Suara kritis datang dari kalangan seniman. Rahmat Roy, salah seorang seniman Aceh, menilai pemerintah daerah perlu memastikan syari’at benar-benar hadir dalam praktik kehidupan sehari-hari, bukan sekadar jargon politik. Menurutnya, masih banyak persoalan sosial yang terjadi di masyarakat, seperti meningkatnya perilaku menyimpang di kalangan remaja, maraknya kasus kriminalitas, hingga rendahnya minat generasi muda untuk mempelajari Al-Quran. Fenomena tersebut, kata Rahmat, menjadi indikator bahwa komitmen pemerintah dalam membumikan syari’at belum optimal.
“Syari’at jangan hanya berhenti pada baliho, spanduk, atau pidato pejabat. Masyarakat butuh bukti nyata, misalnya program pembinaan anak muda agar dekat dengan Al-Quran dan terhindar dari penyakit sosial,” ujar Rahmat Roy saat ditemui di Aceh Besar, Jumat (13/9/2025).
Visi pasangan Muzakir Manaf–Fadhlullah (Mualem–Dek Fad) yang menekankan “Terwujudnya Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan” kini tengah diuji. Pasangan ini dalam kampanyenya menjanjikan penguatan syari’at Islam sebagai landasan pembangunan Aceh di berbagai bidang. Namun, sejumlah kalangan menilai implementasi visi tersebut belum terlihat kuat. Program syari’at masih sering kalah prioritas dibandingkan pembangunan fisik atau kegiatan seremonial. Anggaran untuk pembinaan syari’at pun dianggap belum proporsional bila dibandingkan dengan sektor lain.
“Jika komitmen itu benar, seharusnya terlihat dalam alokasi anggaran. Syari’at harus hadir dalam kebijakan pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, bahkan tata kelola pemerintahan,” kata seorang pengamat politik lokal, Tarmizi Yahya.
Masyarakat Aceh menaruh harapan besar agar lima tahun ke depan, kepemimpinan Mualem–Dek Fad benar-benar menjadikan syari’at sebagai prioritas utama. Berbagai sektor dipandang perlu mendapat sentuhan nilai-nilai Islam, mulai dari pendidikan yang menekankan hafalan Al-Quran, penguatan peran dayah, hingga pembinaan remaja berbasis keagamaan. Selain itu, keberadaan Wilayatul Hisbah (polisi syari’at) juga diharapkan tidak hanya berfokus pada razia formalitas, tetapi mampu memberikan pengawasan yang lebih menyentuh akar persoalan masyarakat. Dukungan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berbasis syariah juga dinilai penting sebagai bagian dari penguatan ekonomi masyarakat.
“Kalau program pembinaan Al-Quran digalakkan, dayah diperkuat, ekonomi umat berbasis syariah tumbuh, dan pengawasan Wilayatul Hisbah berjalan efektif, maka syari’at akan terasa dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Teungku Jamaluddin, pimpinan salah satu dayah di Aceh Besar.
Pengalaman Aceh selama hampir dua dekade menerapkan syari’at Islam menunjukkan masih adanya jurang antara idealisme dan praktik. Banyak program yang berhenti di tataran wacana, sementara masyarakat masih berjuang menghadapi berbagai masalah sosial. Tanpa langkah nyata, janji “Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan” berisiko sekadar menjadi retorika politik. Namun, dengan kebijakan yang konsisten, dukungan anggaran memadai, serta partisipasi masyarakat luas, Aceh berpeluang tampil sebagai daerah yang islami sekaligus modern dan berdaya saing di tingkat nasional maupun global. (*)