BANDA ACEH | Kesejahteraan rakyat Aceh kembali menjadi sorotan utama dalam diskusi politik terkini. Pertanyaan besar yang mengemuka adalah: apakah MoU Helsinki benar-benar mampu menghadirkan kesejahteraan yang dijanjikan, atau justru referendum menjadi jawaban berani untuk menentukan arah masa depan Aceh?
Hampir dua dekade setelah penandatanganan MoU Helsinki, banyak masyarakat Aceh merasa kesejahteraan yang diharapkan belum sepenuhnya terwujud. Deretan butir perjanjian yang belum terealisasi bahkan dianggap sebagian pihak sebagai pengkhianatan terhadap semangat perdamaian yang dulu diperjuangkan.
Poin-poin penting yang masih menjadi pekerjaan rumah di antaranya:
-
Kesejahteraan rakyat Aceh yang belum merata.
-
Pengelolaan sumber daya alam yang belum sepenuhnya berpihak pada daerah.
-
Pembangunan infrastruktur yang dinilai lambat.
-
Penambahan lima batalion TNI yang memunculkan tanda tanya soal komitmen pengurangan militerisasi.
-
Kewenangan Aceh yang terus diperdebatkan, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa implementasi MoU Helsinki masih jauh dari sempurna, sementara masyarakat Aceh terus menuntut realisasi janji-janji tersebut.
Ketua Komite Independen Aceh (KIA), Muhammad Tori, menegaskan bahwa rakyat Aceh tidak bisa terus-menerus hidup dengan janji yang tak kunjung ditepati.
“Jika MoU Helsinki tidak mampu memberikan kesejahteraan yang diharapkan, maka referendum mungkin menjadi pilihan yang lebih berani untuk mengambil kontrol atas nasib Aceh ke depan. Pertanyaannya, apakah pemerintah pusat siap melepaskan kontrol dan memberi kesempatan rakyat Aceh menentukan nasib mereka sendiri? Atau justru terus mempertahankan status quo sambil mengabaikan aspirasi rakyat?” ujarnya.
Menurut Tori, rakyat Aceh membutuhkan tindakan nyata, bukan sekadar wacana. Mereka ingin kualitas hidup yang lebih baik, kesempatan ekonomi yang merata, serta pengelolaan sumber daya yang transparan. Jika pemerintah pusat dan para pemangku kepentingan ingin menghindari menguatnya wacana referendum, maka implementasi MoU Helsinki harus dijalankan secara sungguh-sungguh.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya kerja sama semua pihak dalam mencari solusi terbaik.
“Dalam mencari jalan keluar untuk kesejahteraan rakyat Aceh, yang terpenting adalah komitmen pada tujuan bersama. Baik melalui MoU Helsinki maupun referendum, orientasinya harus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat Aceh dan pembangunan ekonomi berkelanjutan,” kata Tori.
Dengan dialog yang konstruktif, transparansi, dan partisipasi aktif dari seluruh stakeholder, solusi yang adil dan tepat untuk rakyat Aceh diyakini dapat ditemukan. Namun, jika aspirasi terus diabaikan, sejarah menunjukkan bahwa suara rakyat tidak akan pernah benar-benar bisa dibungkam. )*)