MEULABOH — Suasana pagi di pusat Kota Meulaboh, Senin 23 Juni 2025, terasa berbeda. Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Aceh Menggugat (GAM) memenuhi halaman depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Barat. Mereka datang dengan penuh semangat, membawa spanduk, pengeras suara, dan seruan moral yang menggema: “Tegakkan keadilan untuk Aceh, jangan khianati MoU Helsinki.”
Aksi damai tersebut digelar sebagai bentuk ekspresi keprihatinan terhadap berbagai kebijakan strategis nasional yang dinilai mengancam martabat, hak-hak khusus, dan kedamaian yang selama ini telah diperjuangkan dan dijaga oleh rakyat Aceh sejak berakhirnya konflik bersenjata dua dekade silam. Perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005 menjadi tonggak bersejarah yang menjanjikan era baru bagi Aceh—yakni perdamaian yang adil, bermartabat, dan berdaulat secara otonom.
Namun, dua puluh tahun berselang, para mahasiswa menyuarakan kekecewaan. Mereka menilai bahwa pelaksanaan MoU Helsinki belum dijalankan secara utuh, bahkan terkesan diabaikan oleh pemerintah pusat. Dalam orasinya, Putra Rahmat, Presiden Mahasiswa Universitas Teuku Umar (UTU) yang juga bertindak sebagai Koordinator Aksi, menyampaikan bahwa Aceh saat ini menghadapi berbagai bentuk ketimpangan struktural yang justru mengkhianati semangat rekonsiliasi.
“Kami, warga negara Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Aceh Menggugat, menyatakan perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang berpotensi mengkhianati MoU Helsinki dan merusak kemaslahatan rakyat Aceh,” tegas Putra dalam orasinya.
Putra menambahkan bahwa selama ini pemerintah pusat cenderung mengambil keputusan sepihak tanpa mempertimbangkan konteks sosial-politik Aceh. Salah satu kebijakan yang ditolak keras adalah wacana penambahan batalyon militer di Aceh. Menurutnya, hal itu merupakan tindakan provokatif yang justru mengancam stabilitas dan menghidupkan kembali trauma masa lalu rakyat Aceh yang pernah hidup dalam situasi konflik dan militerisasi.
Dalam aksi tersebut, aliansi mahasiswa menyampaikan empat tuntutan utama kepada pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh. Pertama, mereka mendesak pencopotan Menteri Dalam Negeri dan Direktur Jenderal Kewilayahan karena dinilai gagal memahami serta menjalankan semangat otonomi khusus sebagaimana telah dijamin dalam perjanjian Helsinki dan diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Kedua, mereka menuntut transparansi total dalam pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang telah dikucurkan sejak tahun 2008. Dana tersebut, yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh, justru dinilai tidak berdampak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, maupun pembangunan infrastruktur desa. Mereka menduga kuat terjadi praktik penyimpangan anggaran yang selama ini luput dari pantauan publik dan lemahnya pengawasan legislatif daerah.
Ketiga, mereka secara tegas menolak rencana penambahan batalyon militer di Aceh. Menurut aliansi, kehadiran kekuatan militer tambahan merupakan bentuk pengingkaran terhadap semangat rekonsiliasi dan bisa mencederai suasana damai yang telah dibangun bersama dengan penuh pengorbanan.
Keempat, mahasiswa mendesak agar Pemerintah Aceh mengambil langkah konkret dan mandiri dalam pengelolaan pulau-pulau strategis di wilayah Aceh. Belakangan ini muncul kekhawatiran bahwa sejumlah pulau di wilayah Aceh seperti Pulau Berhala dan sekitarnya rentan terhadap intervensi dari provinsi tetangga atau bahkan keputusan sepihak pemerintah pusat. Mahasiswa menilai sikap pasif Pemerintah Aceh bisa berujung pada penghilangan kedaulatan wilayah secara perlahan dan sistematis.
Dalam aksi tersebut, mahasiswa juga mengingatkan kembali bahwa perdamaian di Aceh bukanlah hadiah dari negara, melainkan hasil perjuangan panjang rakyat Aceh yang harus dijaga bersama. Mereka menganggap bahwa ketika pemerintah pusat tidak menjalankan butir-butir MoU Helsinki secara konsekuen, maka itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan dan konstitusi.
“Kita tidak boleh diam terhadap ketidakadilan struktural yang masih membayangi Aceh pascareformasi. Ini bukan sekadar aksi, ini adalah bentuk perlawanan terhadap pelupaan sejarah dan pengingkaran terhadap komitmen Helsinki,” lanjut Putra dengan suara lantang.
Aliansi Gerakan Aceh Menggugat juga menyesalkan sikap pasif Pemerintah Aceh dalam menyuarakan kepentingan daerah di hadapan pemerintah pusat. Mereka menilai elit-elit lokal cenderung sibuk pada dinamika kekuasaan sempit dan mengabaikan tanggung jawab konstitusional untuk membela hak-hak rakyat Aceh sebagaimana diamanahkan dalam perjanjian damai dan UUPA.
Aksi berlangsung damai dan tertib di bawah pengawasan aparat keamanan. Para peserta membubarkan diri setelah menyerahkan pernyataan sikap kepada perwakilan DPRK Aceh Barat. Meski tidak ada keputusan langsung yang dihasilkan, mereka berjanji akan terus mengawal isu-isu strategis Aceh dan siap kembali turun ke jalan jika pemerintah tetap bersikap abai terhadap tuntutan rakyat. (RED)