Subulussalam, 3 Juni 2025 – Konflik antara masyarakat Kecamatan Penanggalan dengan PT Laot Bangko yang merupakan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) terus memanas dan memunculkan beragam keluhan serius dari warga. Untuk merespons hal tersebut, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengutus salah satu anggotanya, H. Sudirman atau yang lebih dikenal dengan nama Haji Uma, melakukan kunjungan kerja langsung ke Subulussalam guna menyerap aspirasi masyarakat dan mengawal persoalan tersebut agar mendapat perhatian pemerintah pusat.
Pertemuan yang berlangsung di Kecamatan Penanggalan ini melibatkan berbagai elemen masyarakat. Hadir di antaranya tokoh adat A. Tinambunen Pertaki Jontor, masyarakat transmigrasi, para pekebun, serta perwakilan LSM Suara Putra Aceh. Tidak ketinggalan, aparat pemerintahan seperti Ketua Komisi B DPRK Subulussalam Hasbullah, SKM, tokoh masyarakat Denni Bancin, Camat Penanggalan, kepala kampong, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas setempat turut ambil bagian dalam diskusi yang berlangsung penuh ketegangan itu.
Masyarakat yang hadir secara bergantian mengemukakan sejumlah persoalan terkait dugaan cacat prosedur dalam perolehan HGU PT Laot Bangko dan penetapan lahan plasma yang selama ini disebut sebagai “plasma siluman”. Mereka menuntut agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengambil langkah tegas dengan melakukan pengukuran ulang terhadap lahan HGU terbaru yang dinilai tumpang tindih dengan lahan pertanian warga, kawasan hutan lindung, hingga tanah adat dan lahan transmigrasi.
Haji Uma dalam kesempatan tersebut mempertanyakan ketidakjelasan fasilitasi PT Laot Bangko ketika terjadi permasalahan kepemilikan tumpang tindih antara perusahaan ini dengan perusahaan lain yang mengelola lahan serupa. “Ini penting karena konflik lahan tidak hanya berdampak pada kesejahteraan masyarakat, tetapi juga mempengaruhi kelangsungan usaha dan keharmonisan sosial,” ujar Haji Uma.
Salah satu masalah yang paling menonjol adalah perluasan HGU yang diduga dilakukan PT Laot Bangko tanpa memperhatikan status kepemilikan lahan masyarakat. Beberapa lahan yang sudah diusahai puluhan tahun bahkan telah memiliki sertifikat Hak Milik (SHM) turut masuk dalam wilayah konsesi perusahaan. Hal ini jelas menimbulkan konflik berkepanjangan karena masyarakat merasa hak mereka diabaikan. Selain itu, pembangunan fasilitas perusahaan seperti Paret Gajah pun dianggap dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan atau mengindahkan aspirasi warga setempat, yang justru memperburuk hubungan antara perusahaan dan masyarakat.
Lebih jauh, warga menyoroti penetapan Calon Petani Calon Lokasi (CPCL) plasma yang tercantum dalam SK Walikota Subulussalam tahun 2020. Lahan plasma yang seharusnya diperuntukkan bagi petani plasma dan pengelolaan perkebunan rakyat ternyata tidak jelas pemiliknya. “Plasma siluman” yang dimaksud merupakan lahan yang tidak diikuti oleh proses penanaman dan pemeliharaan tanaman secara benar dan tidak menghasilkan pola bagi hasil yang sesuai dengan regulasi perkebunan rakyat. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan mendalam dari para petani yang berharap mendapat manfaat dari program plasma tersebut.
Sofyan, perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Subulussalam, mengakui bahwa dari total 438 nama yang masuk dalam daftar CPCL plasma, baru tiga desa yakni Namo Buaya, Batu Napal, dan Singgersing yang sudah menerima sertifikat Hak Milik (SHM). Sementara sisanya masih terkendala masalah administrasi, seperti kurangnya dokumen KTP dan formulir pendukung. “Kami terus berupaya menyelesaikan persoalan administrasi ini, namun memang prosesnya memerlukan waktu dan koordinasi yang intensif,” kata Sofyan.
Persoalan semakin rumit ketika muncul dugaan bahwa proses perpanjangan HGU PT Laot Bangko diduga melibatkan praktik suap kepada pejabat daerah dan legislator setempat. Sumber terpercaya mengungkapkan bahwa sejumlah anggota legislatif Kota Subulussalam diberangkatkan ke luar negeri dalam rangka mendapatkan persetujuan bersama untuk perpanjangan HGU. Hal ini bertolak belakang dengan sikap tegas almarhum Walikota sebelumnya, H. Merah Sakti, yang secara terbuka menolak perpanjangan HGU perusahaan tersebut. Dugaan praktik korupsi ini tentu menimbulkan kecurigaan dan keresahan di kalangan masyarakat.
Ketika dikonfirmasi mengenai tuduhan malpraktik dan ketidaktransparanan dalam pengelolaan HGU dan plasma, Manajer PT Laot Bangko, Asnadi, memilih bungkam dan tidak memberikan jawaban apapun. Sikap diam ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat yang menuntut keterbukaan dan kejelasan dari pihak perusahaan.
Sebagai penutup pertemuan, masyarakat dan tokoh adat bersama-sama menyuarakan tuntutan agar Walikota Subulussalam saat ini, H. Rasit Bancin, segera mencabut HGU dan SK CPCL yang bermasalah tersebut. Mereka juga mendesak pemerintah pusat dan lembaga berwenang untuk melakukan audit menyeluruh terhadap status legalitas lahan PT Laot Bangko guna mengembalikan hak-hak masyarakat dan menegakkan keadilan.
Konflik ini menjadi cermin penting bagi pengelolaan sumber daya alam yang adil dan transparan, khususnya dalam pemberdayaan masyarakat lokal dan penghormatan terhadap hak-hak adat. Haji Uma menegaskan bahwa aspirasi masyarakat Penanggalan akan diperjuangkan sampai tuntas di tingkat nasional agar persoalan ini tidak berlarut dan memberikan solusi yang nyata. (red)