BARANEWS— Dari lereng bukit Gayo yang diselimuti kabut pagi hingga pesisir barat yang diterjang ombak Samudra Hindia, suara tentang pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) kembali menggema. Bukan sekadar seruan politik, melainkan jeritan panjang tentang ketidakadilan, keterpinggiran, dan harapan untuk bangkit.
Sudah lebih dari dua dekade, aspirasi ini berakar kuat di tengah masyarakat. Dalam setiap musyawarah kampung, di sela pertemuan adat, bahkan dalam percakapan warung kopi, pertanyaan yang sama terus muncul: “Mengapa kami selalu tertinggal?”
Kini, dengan sinyal pencabutan moratorium pemekaran oleh pemerintah pusat, ALA bukan lagi sekadar wacana. Ia mulai menapaki jalan konkret, membawa bersamanya satu harapan besar: keadilan pembangunan untuk wilayah tengah dan tenggara Aceh.
Akar Ketimpangan: Membangun dari Pinggiran yang Tak Pernah Dibangun
Masyarakat di enam daerah pengusul ALA—Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam—tidak serta-merta menginginkan pemekaran. Mereka menuntutnya karena merasa ditinggalkan dalam pembangunan yang selama ini lebih terpusat di wilayah utara dan pesisir timur Aceh.
Data dari Badan Pusat Statistik selama satu dekade terakhir menunjukkan ketimpangan signifikan dalam akses infrastruktur, layanan pendidikan, dan kesehatan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah ALA secara rata-rata berada di bawah IPM Aceh secara keseluruhan. Bahkan, dalam beberapa aspek seperti layanan rujukan medis dan akses jalan nasional, warga ALA harus bergantung ke provinsi tetangga, Sumatra Utara.
“Untuk berobat ke rumah sakit jantung atau rujukan kanker saja, kami harus ke Medan. Banda Aceh terlalu jauh, jalan rusak, dan biaya mahal,” ujar Ernawati, warga Aceh Tenggara.
Kondisi ini diperparah dengan representasi politik yang minim. Keputusan-keputusan strategis sering diambil tanpa mempertimbangkan realitas geografis dan sosial budaya masyarakat ALA.
Sejarah Perjuangan: Dari Aspirasi Rakyat Hingga Lobi Politik
Wacana pemekaran ALA pertama kali muncul pada awal tahun 2000-an, pasca-implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Aceh. Tokoh-tokoh seperti almarhum Ir. Muchlis Ibrahim (mantan Gubernur Aceh) dan sejumlah akademisi dari Gayo Lues dan Aceh Tengah menjadi penggerak awal.
Deklarasi demi deklarasi telah digelar. Sidang paripurna DPRD di sejumlah kabupaten telah menghasilkan rekomendasi resmi. Bahkan, sejumlah kepala daerah secara terbuka mendukung pemekaran.
Namun semua itu tersendat saat pemerintah pusat memberlakukan moratorium pemekaran daerah pada 2014. “Kami seperti ditinggalkan dalam lorong gelap,” ungkap M. Amin, salah satu tokoh Forum Komunikasi ALA. “Namun perjuangan tak pernah padam. Ini bukan soal kepentingan elite, ini soal masa depan anak cucu kami.”
Potensi Daerah ALA: Kaya Sumber Daya, Kuat dalam Budaya
Kopi Gayo dari Aceh Tengah dan Bener Meriah telah mengangkat nama Indonesia di pentas dunia. Produk ini tidak hanya unggul dari segi rasa, tapi juga karena proses pertaniannya yang organik dan berkelanjutan. Ekspor Kopi Gayo ke Eropa dan Amerika menjadi salah satu penopang ekonomi utama di wilayah ini.
Di sisi lain, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang sebagian besar membentang di Gayo Lues dan Aceh Tenggara adalah paru-paru dunia. Wilayah ini merupakan rumah bagi satwa langka seperti orangutan Sumatra, harimau Sumatra, dan badak Sumatra. Potensi ekowisata yang bisa dikembangkan sangat besar, namun selama ini belum tersentuh secara optimal akibat minimnya perhatian infrastruktur.
Aceh Singkil, dengan gugusan Kepulauan Banyak-nya, menyimpan pesona wisata laut yang belum tergarap maksimal. Kota Subulussalam, yang berada di perlintasan antara Aceh dan Sumatera Utara, memiliki peluang menjadi pusat logistik dan perdagangan regional.
Sementara dari aspek budaya, ALA merupakan rumah bagi etnis Gayo, Alas, Singkil, dan Pakpak. Keanekaragaman ini tidak menjadi penghalang, melainkan kekayaan yang memperkuat identitas wilayah.
Tantangan dan Syarat Kesiapan
Mewujudkan provinsi baru tidaklah semudah mengubah batas di atas peta. Pemerintah pusat mensyaratkan sejumlah indikator kesiapan, seperti:
-
Ketersediaan infrastruktur pemerintahan dan layanan dasar
-
Kemampuan fiskal daerah (PAD dan APBD)
-
Potensi SDM birokrasi
-
Dukungan sosial dan politik yang luas
-
Kelayakan dari sisi geo-politik dan geo-ekonomi
Forum ALA telah menyusun kajian akademik dan peta jalan (roadmap) untuk menjawab tantangan ini. Kajian tersebut mencakup aspek administratif, ekonomi, sosial, dan pertahanan-keamanan.
Namun tantangan tetap besar. Pemerintah daerah harus mempersiapkan SDM birokrasi yang profesional, memastikan pembangunan tidak berhenti karena transisi, dan menjamin tidak ada konflik sosial akibat pemekaran.
Dukungan dari Bawah dan Atas: Apakah Pusat Mendengar?
Dukungan terhadap ALA tidak hanya datang dari bawah. Sejumlah anggota DPR RI dari Dapil Aceh, tokoh nasional asal Gayo, bahkan anggota DPD RI telah menyuarakan dukungan di Senayan.
“Ini bukan soal memperbanyak provinsi, tapi soal memperbaiki tata kelola dan mempercepat pembangunan. Provinsi ALA adalah kebutuhan rakyat,” ujar Teuku Riefky Harsya, anggota DPR RI dari Aceh.
Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam beberapa kesempatan menyebut bahwa pemerintah pusat membuka peluang untuk pemekaran daerah dengan syarat khusus. Termasuk wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) atau daerah dengan urgensi pembangunan yang tinggi.
ALA, dengan segala data ketimpangan dan potensi yang dimiliki, masuk dalam kriteria tersebut.
Harapan dari Tanah Leuser
Di Kutacane, Takengon, dan Blangkejeren, masyarakat kembali menyusun langkah. Mereka tidak lagi sekadar berharap, tetapi mulai bergerak. Deklarasi bersama lintas daerah, pembentukan tim teknis lintas kabupaten, hingga advokasi di tingkat pusat menjadi bagian dari agenda strategis.
“Kami tidak ingin hanya jadi penonton pembangunan,” kata Ust. Amiruddin, ulama dari Bener Meriah. “Kami ingin jadi pelaku pembangunan, di atas tanah kami sendiri.”
Kesimpulan: Saatnya Memberi Ruang untuk Keadilan
Provinsi Aceh Leuser Antara bukan sekadar perubahan administratif, tetapi sebuah koreksi sejarah. Ia adalah harapan bagi masyarakat yang selama ini merasa dikesampingkan dalam pembangunan Aceh.
Jika dikelola dengan baik, ALA bisa menjadi contoh pemekaran yang berhasil: tumbuh karena aspirasi rakyat, bergerak karena data dan kajian ilmiah, dan berhasil karena komitmen bersama.
Pemerintah pusat kini memiliki pilihan penting: mendengar dan memberi ruang, atau menunda dan terus membiarkan ketimpangan tumbuh. Apa pun keputusannya, suara dari Leuser sudah tak bisa dibungkam lagi. (*)