Tangerang Selatan — Sabtu sore yang biasanya tenang di Kelurahan Pondok Betung, Tangerang Selatan, berubah menjadi hiruk pikuk. Suara mesin ekskavator menderu, disusul oleh dentuman kayu dan seng yang runtuh. Petugas dari Satpol PP, polisi, dan pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berjaga ketat. Mereka mengawasi pembongkaran sebuah bangunan semi permanen—posko milik ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya—yang selama berbulan-bulan berdiri di atas tanah negara.
Lahan seluas 127.780 meter persegi itu sejatinya adalah milik BMKG. Namun, sejak akhir 2024, sebagian dari lahan tersebut disulap menjadi markas organisasi yang diketuai oleh Hercules Rosario Marshal, tokoh kontroversial yang juga dikenal sebagai mantan preman Jakarta.
BMKG akhirnya mengambil sikap tegas. Pada 3 Februari 2025, mereka melaporkan pendudukan ilegal ini ke Polda Metro Jaya. Dalam laporan itu, terungkap bahwa GRIB Jaya tak hanya menduduki lahan tanpa izin, tapi juga disebut-sebut meminta uang tebusan sebesar Rp 5 miliar kepada BMKG sebagai syarat pengosongan lahan.
“Ini bukan cuma pelanggaran administratif. Sudah mengarah ke pemerasan,” ungkap seorang pejabat BMKG yang enggan disebut namanya. Ia menyebut, lembaganya sempat mendapat tekanan verbal dari pihak ormas untuk menyerahkan dana kompensasi.
Sabtu, 24 Mei 2025, menjadi titik balik. Pihak BMKG, dengan dukungan aparat gabungan, mengerahkan ekskavator untuk membongkar posko GRIB Jaya. Bangunan yang didirikan tanpa izin itu dihancurkan satu per satu. Ruang utama posko dan area lomba burung kicau—yang kerap digunakan sebagai aktivitas komunitas GRIB—tak luput dari penggusuran.
Sebelum ekskavator bergerak, sejumlah barang telah dikeluarkan: lemari, dipan, sound system, bahkan bantal-bantal yang menunjukkan bahwa posko itu telah dijadikan tempat tinggal oleh beberapa anggota. Beberapa anggota GRIB Jaya yang berada di lokasi sempat diamankan oleh pihak kepolisian untuk menghindari bentrokan.
“Kami hanya menjalankan keputusan negara,” ujar seorang petugas Satpol PP. “Ini bukan urusan pribadi. Ini lahan negara.”
Peristiwa ini menambah catatan panjang kontroversi GRIB Jaya. Organisasi ini sebelumnya terlibat dalam sejumlah kasus hukum. Di Bandung, lima anggotanya ditetapkan sebagai tersangka akibat bentrok fisik dengan ormas Pemuda Pancasila. Di Pandeglang, dua anggotanya bahkan ditangkap karena terlibat dalam pencurian sepeda motor. Belum lama ini, di Kalimantan Tengah, GRIB Jaya dilaporkan melakukan penyegelan terhadap perusahaan sawit tanpa dasar hukum jelas. Polda Kalteng turun tangan dan menyatakan bahwa tindakan ormas itu dalam proses hukum.
Pembongkaran posko GRIB Jaya memang telah usai. Namun peristiwa ini menyisakan pertanyaan besar: bagaimana bisa sebuah organisasi masyarakat mendirikan bangunan di atas lahan negara dan bertindak seolah berkuasa?
BMKG berharap kejadian ini menjadi peringatan keras bagi institusi negara lain untuk tidak tunduk pada tekanan dari kelompok mana pun. Di sisi lain, pembongkaran ini menjadi sinyal tegas bahwa negara masih hadir untuk menegakkan hukum dan menjaga aset publik.
“Kami ingin lahan ini kembali berfungsi sebagaimana mestinya, demi kepentingan negara, bukan segelintir kelompok,” pungkas juru bicara BMKG. (*)