Aceh – Dalam rangka mewujudkan demokrasi yang bermartabat dan transparan, Serikat Aksi Peduli Aceh (SAPA) mendesak Komisi Independen Pemilihan (KIP) di Aceh untuk menggelar debat calon gubernur, bupati, dan walikota selanjutnya tanpa menggunakan teks.
Ketua SAPA, Fauzan Adami, menegaskan bahwa langkah ini penting untuk menguji langsung kapasitas, wawasan, dan keaslian ide yang dimiliki para kandidat.
“Debat kandidat seharusnya menjadi panggung untuk menunjukkan kemampuan asli seorang calon pemimpin. Penghapusan teks akan memastikan masyarakat dapat menilai kemampuan berpikir kritis, penguasaan isu, dan penyampaian solusi secara mandiri oleh para kandidat,” kata Fauzan. Selasa 19 November 2024.
SAPA menilai debat kandidat selama ini terlalu formal dan kurang merepresentasikan kemampuan nyata para calon pemimpin. Dengan menghapus penggunaan teks, masyarakat dapat melihat siapa yang benar-benar siap memimpin, memahami persoalan daerah, dan memiliki solusi konkret tanpa tergantung pada skrip atau tim bayangan.
“Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu berbicara lugas, jujur, dan memahami permasalahan tanpa perlu diarahkan. Masyarakat Aceh layak mendapatkan transparansi penuh dari para kandidat yang akan memimpin mereka,” tegas Fauzan.
SAPA menyampaikan bahwa debat tanpa teks juga akan menjadi parameter objektif dalam menilai sejauh mana kandidat memahami isu-isu strategis yang dihadapi Aceh, termasuk masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, hingga pengelolaan sumber daya alam.
“Ini bukan hanya soal gaya debat, tapi soal substansi dan keaslian. Pemimpin yang tidak mampu tampil tanpa teks, menunjukkan kelemahan dalam memahami persoalan dan mengambil keputusan. Hal ini dapat menjadi indikasi ketidakmampuan mereka dalam menjalankan tugas pemerintahan,” tambahnya.
Fauzan juga mengajak KIP Aceh untuk mengambil langkah progresif dengan mengadopsi format debat ini. Menurutnya, inisiatif ini sejalan dengan upaya memperkuat demokrasi yang lebih transparan dan akuntabel.
“Aceh membutuhkan pemimpin yang kuat dan mandiri, bukan yang hanya berperan sebagai corong dari pihak-pihak tertentu,” ungkapnya.
Selain itu, Fauzan meminta semua pihak, termasuk masyarakat, tokoh masyarakat, dan lembaga pemantau pemilu, untuk mendukung gagasan ini sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat.
“Ini adalah langkah untuk memastikan bahwa demokrasi di Aceh tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar menghasilkan pemimpin yang kredibel dan kompeten,” katanya.
Usulan ini, menurut SAPA, merupakan wujud tanggung jawab moral kepada masyarakat Aceh. Fauzan berharap debat tanpa teks menjadi tradisi baru yang tidak hanya meningkatkan kualitas pemilu, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi di Aceh.
“Rakyat Aceh tidak butuh pemimpin yang hanya pandai membaca teks, melainkan sosok yang memiliki integritas, keberanian, dan pemahaman mendalam terhadap masalah-masalah daerah. Kami optimis, langkah ini akan membawa Aceh ke arah demokrasi yang lebih baik,” pungkas Fauzan Adami.