Kutacane, Aceh Tenggara – Bara News | Jumat, 1 Agustus 2025
Dugaan praktik pungutan liar (pungli) terhadap perangkat kute dan BPK di Kecamatan Bambel, Aceh Tenggara, menyeruak ke permukaan. Informasi yang dihimpun Bara News mengungkap bahwa setiap perangkat desa di wilayah tersebut dipotong secara rutin sebesar Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per bulan, dengan dalih biaya administrasi dan cetak daftar gaji. Praktik ini diduga sudah berlangsung mulus bertahun-tahun tanpa hambatan di 33 desa se-Kecamatan Bambel.
Skema pemotongan dilakukan secara sistematis. Bendahara desa memotong langsung honor bulanan perangkat kute dan menyerahkannya kepada oknum tertentu di kantor kecamatan. Nominal pungli memang terlihat kecil, tapi bila dikalkulasi, jumlahnya menggelembung. Dengan asumsi satu desa memiliki 21 orang perangkat, maka terkumpul sekitar Rp 420.000 per desa setiap bulan. Dikalikan 33 desa, total dugaan pungli bulanan mencapai Rp 13.860.000. Sebuah angka yang mengindikasikan perampokan sistematis terhadap hak-hak perangkat desa yang sudah minim.
“Tullah kami kecil. Hanya sekadar pengganti lelah. Tapi malah dipotong sampai 25 persen oleh orang-orang yang tidak tahu malu. Ini keterlaluan,” kata Saleh, salah satu tokoh masyarakat Sekedang. Ia mendesak Bupati Aceh Tenggara agar turun tangan dan membongkar jaringan pungli yang diduga melibatkan oknum pejabat di lingkup Kecamatan Bambel.
Tak hanya itu, Saleh juga mendesak agar sistem pembayaran tullah ke perangkat desa segera dialihkan ke skema non-tunai atau transfer langsung ke rekening masing-masing penerima. Tujuannya jelas: menutup celah pungli dan menyingkirkan para pejabat rakus yang selama ini bermain di belakang meja.
Namun saat dikonfirmasi, Camat Bambel Riduansyah justru mengelak. Ia membantah keras tudingan tersebut. “Tidak ada pernah kutipan apapun,” ujarnya singkat dan menutup pembicaraan tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Ia bahkan tak menanyakan lebih jauh siapa yang menyampaikan laporan atau sumber dugaan pungli itu.
Sikap diam dan reaktif dari pimpinan kecamatan ini justru semakin menguatkan kecurigaan publik. Banyak pihak menilai bahwa bantahan kosong tanpa transparansi atau upaya investigasi justru menutupi fakta yang sudah lama jadi rahasia umum di kalangan perangkat desa.
Kini sorotan publik mengarah ke Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara. Akankah Bupati mengambil langkah tegas membongkar skema pungli berjamaah ini? Atau praktik ini akan kembali ditutup rapat seperti yang sudah-sudah, sementara para perangkat desa terus dipalak secara rutin oleh sistem yang semestinya melayani mereka?
Waktu akan bicara. Tapi satu hal pasti, aroma busuk pungli di Kecamatan Bambel bukan sekadar kabar angin. Jumlahnya jelas, pelakunya diduga jelas, dan korbannya pun terus berbicara. Tinggal keberanian aparat penegak hukum dan kepala daerah yang belum terlihat. (SKD)