BANDA ACEH — Menjelang Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah, gema takbir mulai menggema di pelosok Aceh. Namun di tengah nuansa religius yang syahdu, masyarakat Aceh juga menyuarakan satu hal penting: harapan agar persoalan batas wilayah empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara diselesaikan secara adil dan bermartabat.
Isu ini bukan hal baru. Sejak diumumkan perubahan administrasi pada sejumlah
pulau kecil di wilayah perbatasan barat Aceh Singkil, perhatian publik pun meningkat. Namun yang mencolok adalah sikap dewasa masyarakat Aceh: mereka memilih menyampaikan aspirasi melalui jalur damai, dengan menekankan pentingnya kearifan, hukum, dan persatuan bangsa.
“Pulau bukan sekadar wilayah. Ia adalah amanah sejarah, identitas budaya, dan bukti kecintaan kita pada tanah air,” ujar mantan Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI (Purn.) Teuku Abdul Hafil Fuddin, Rabu 4 Juni 2025.
Menurutnya, semangat Idul Adha adalah momentum yang tepat untuk merenungkan kembali bagaimana pengorbanan dan ketaatan bisa menjadi jalan menuju solusi yang bijak.
“Kita harus menempuh jalur yang sah, tetapi jangan diam. Bersuaralah dengan santun. Tegas, tapi tidak menyulut api,”sebutnya.
Kata Mayjend (Purn) TA Hafil Puddin, Pemerintah daerah, DPRK, dan tokoh masyarakat di berbagai kabupaten terdampak pun mulai menyuarakan hal serupa. Seruan untuk menjaga marwah Aceh tidak ditandai dengan amarah, melainkan dengan kekompakan dan sikap konstitusional.
Menurut tokoh asal Aceh Selatan itu, di tengah arus isu nasional dan ketegangan sosial di beberapa daerah lain, sikap Aceh patut diapresiasi. Dalam suasana menjelang Hari Raya Kurban, rakyat Aceh memilih untuk “berkurban emosi” dan menggantinya dengan semangat ukhuwah serta cinta Tanah Air. Sejumlah tokoh bahkan menyebut langkah ini sebagai cerminan keimanan yang sejati: menjaga hak tanpa merusak persaudaraan.
Karena sejatinya, lanjut Hafil, sebagaimana dikatakan oleh ulama Aceh dalam ceramahceramah menjelang Idul Adha: “Batas wilayah bisa digambar ulang, tapi semangat persatuan tak boleh luntur.