Banda Aceh – 25 Juni 2025 | Pemerintah Aceh akhirnya bereaksi terhadap persoalan serius dalam pengelolaan lingkungan hidup yang melibatkan PT. Kencana Hijau Binalestari, sebuah perusahaan yang beroperasi di wilayah Gayo Lues dan bergerak di sektor pengolahan getah pinus. Melalui Surat Gubernur Aceh Nomor 500.4/4737 tertanggal 25 April 2025, perusahaan ini diberikan teguran resmi dan diperintahkan segera memperbaiki sejumlah pelanggaran yang ditemukan di lapangan.
Surat bersifat “Segera” yang ditandatangani langsung oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf itu memerintahkan pihak perusahaan untuk dalam waktu maksimal 30 hari sejak diterimanya surat melakukan perbaikan administratif, teknis, dan pelaporan atas hasil temuan Tim Terpadu Pemerintah Aceh. Jika tidak, Pemerintah Aceh menyatakan akan melanjutkan ke langkah sanksi administratif lanjutan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hasil verifikasi oleh tim gabungan yang terdiri dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Dinas Penanaman Modal dan PTSP, serta Biro Hukum Setda Aceh, yang dilakukan pada 27 Juni 2024 dan 26 Februari 2025, menemukan sedikitnya tiga poin pelanggaran. Pertama, cerobong emisi boiler tidak memenuhi spesifikasi teknis sesuai ketentuan. Kedua, perusahaan belum menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) sebagaimana menjadi kewajiban. Ketiga, terdapat klasifikasi KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) ganda yang belum dihapus atau diperbaiki dalam sistem OSS.
Ketiga pelanggaran tersebut diduga menabrak sejumlah regulasi penting baik di bidang lingkungan hidup maupun pengelolaan investasi. Menurut Lembaga Leuser Aceh (LLA), pelanggaran itu seharusnya tidak hanya ditanggapi dengan surat teguran, tetapi langsung disikapi dengan langkah pengawasan teknis di lapangan serta pembukaan jalur penindakan hukum. Sekretaris LLA, Abdiansyah, menyatakan bahwa PT. Kencana Hijau Binalestari telah diduga kuat melanggar sedikitnya lima regulasi nasional yang berlaku dan memiliki implikasi langsung terhadap lingkungan hidup dan tata kelola usaha.
Dalam kajian LLA, regulasi yang diduga dilanggar oleh perusahaan tersebut antara lain:
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 67 dan Pasal 69 ayat (1) huruf e, yang melarang pembuangan emisi tanpa izin atau tanpa memenuhi baku mutu.
PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan PPLH, yang mewajibkan setiap usaha memenuhi ketentuan teknis dalam pengendalian pencemaran udara, pelaporan lingkungan, dan sistem manajemen risiko.
Permen LHK No. P.5 Tahun 2018 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak, yang secara teknis mengatur standar cerobong emisi boiler.
Peraturan BKPM No. 5 Tahun 2021 tentang LKPM, yang mewajibkan pelaku usaha melaporkan kegiatan penanaman modal secara berkala. Tidak disampaikannya LKPM diduga kuat menjadi bentuk penghindaran pelaporan dan pengawasan negara.
Perka BPS No. 95 Tahun 2015 tentang KBLI, yang mengatur keabsahan klasifikasi kegiatan usaha. Adanya KBLI ganda yang tidak sesuai seharusnya segera diperbaiki agar tidak menimbulkan potensi penyimpangan.
Abdiansyah menambahkan bahwa mengingat lokasi perusahaan berada di sekitar kawasan hutan dan penyangga Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), maka pelanggaran semacam ini berdampak lebih besar dari sekadar kesalahan administratif. Ia menilai, pencemaran udara dari cerobong yang tidak sesuai standar diduga dapat membahayakan kesehatan masyarakat, mencemari kualitas udara dan air, serta mempercepat degradasi lingkungan hutan.
Ia menilai bahwa surat teguran dari Gubernur Aceh seharusnya disertai dengan langkah verifikasi ulang di lapangan secara menyeluruh dan independen. Pemerintah Aceh juga seharusnya menggandeng akademisi, lembaga lingkungan, dan tokoh masyarakat untuk memastikan objektivitas langkah pengawasan.
Lebih jauh, Abdiansyah menilai bahwa APH seharusnya segera bertindak membuka penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hukum lingkungan, karena jika dibiarkan, hal ini dapat menjadi pintu masuk kejahatan lingkungan yang lebih sistematis. “Kami tidak ingin kasus ini berhenti di meja birokrasi. Jika ada pelanggaran nyata, seharusnya sudah saatnya aparat hukum turun tangan. Dan kami minta dengan sangat: APH jangan main mata,” ujar Abdiansyah dalam keterangannya pada Selasa, 25 Juni 2025.
LLA juga meminta agar Pemerintah Kabupaten Gayo Lues, DLHK Aceh, dan instansi teknis lainnya turut memastikan bahwa perbaikan yang dilakukan perusahaan nantinya benar-benar faktual dan bukan sekadar pelaporan formal. Audit independen terhadap sistem limbah, penggunaan bahan bakar, serta keterlibatan tenaga kerja lokal juga seharusnya dilakukan.
Menurutnya, dokumen penting seperti izin lingkungan, UKL-UPL, peta lokasi usaha, hingga laporan investasi seharusnya dibuka ke publik agar proses pengawasan lebih transparan dan akuntabel. “Masyarakat punya hak untuk tahu apakah perusahaan ini benar-benar memenuhi syarat lingkungan atau tidak,” ujarnya.
Jika dalam tenggat 30 hari perusahaan tidak melakukan langkah nyata, maka LLA mendesak agar Pemerintah Aceh langsung merekomendasikan pencabutan izin usaha dan mengumumkan hasil evaluasi kepada publik. “Kita tidak bisa menunggu lingkungan rusak lebih dalam baru bergerak. Kita harus antisipatif, bukan reaktif. Pemerintah seharusnya tidak hanya bertumpu pada pernyataan perusahaan, tapi benar-benar hadir mengawasi di lapangan,” tambahnya.
Hingga berita ini diterbitkan, PT. Kencana Hijau Binalestari belum mengeluarkan tanggapan resmi atas isi surat Gubernur Aceh. Namun tekanan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pegiat lingkungan, terus meningkat. Mereka berharap pemerintah tidak ragu bertindak tegas dan tidak memberikan ruang kompromi terhadap perusahaan yang diduga melanggar hukum.
“Kalau aturan sudah dilanggar dan pemerintah tahu tapi diam, maka yang bobrok bukan hanya perusahaannya, tapi juga sistem pengawasan dan keberpihakan negara terhadap lingkungan hidup. Jangan sampai teguran Gubernur ini hanya jadi formalitas. Teguran itu seharusnya dibuktikan dengan tindakan,” pungkas Abdiansyah. (TIM)