Oleh : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
TIDAK berlebihan jika negeri ini, dijuluki syurga bagi koruptor. Semakin besar uang rakyat yang dirampok, semakin nyaman hidup sang koruptor. Menikmati luxury dari negara, karena dari uang jarahan, dapat mempertahankan jabatan basah dengan segala fasilitas VIP. Persoalan korupsi di negeri ini, tidak dapat dicermati dengan pendekatan hati nurani dan etika, karena korupsi sudah menjadi ibadah fardu ain, bagi pejabat mulai tingkat desa hingga pusat.
Mahalnya ongkos politik dan tingginya biaya membeli jabatan, korupsi adalah solusi jitu untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan, bahkan korupsi harus memberi manfaat profit. Tidak perduli rakyat hidup dalam kemiskinan dan harapannya tidak muluk-muluk, asal besok bisa makan.
Di tengah carut marut kehidupan berbangsa bernegara, akibat korupsi yang telah menyebar hingga ketulang sumsum, masih saja para penegak hukum berlomba mengais limbah korupsi. Mereka rela menjadi jongos perampok uang rakyat dan bangga mengklaim dirinya sebagai hero. Sejauh mata memandang, korupsi luas terbentang. Berita penangkapan koruptor selalu memenuhi media massa setiap hari. Foto timbunan uang hasil rampasan dari koruptor, menjadi bukti keberhasilan penegak hukum. Tapi hasil dari proses hukum, hanya teri yang terjaring jerat hukum.
Lantas, kemana para begundal otak korupsi, apakah aparat hukum tidak memiliki kemampuan menghadapi kelicikan otak korupsi. Mungkin para penegak hukum, termasuk golongan penggemar uang rakyat. Penanganan kasus korupsi, bisa jadi telah terpapar jokowi syndrome, antara pelaku dan penegak hukum saling berempati dan berbagi hasil jarahan.
Persoalan korupsi tidak dapat dilihat, hanya sebagai persoalan hukum, korupsi telah dieksploitasi sebagai alat politik dan pelet/gendam dalam terminology ilmu hitam, untuk membungkam kawan maupun lawan. Publik perlu mengawasi implementasi kebijakan presiden Prabowo, dalam rangka memberantas korupsi, dengan melibatkan prajurit TNI untuk mengamankan jajaran kejagung dari teror, intimidasi dan kekerasan fisik, sebagai bentuk serangan balik gerombolan koruptor. Tidak menutup kemungkinan itikad baik presiden Prabowo, justru dijadikan peluang aparat hukum, untuk terus memelihara hobby berbagi dengan koruptor, dalam suasana aman terkendali, karena kehadiran TNI.
Kondisi factual jajaran kejagung, penyebaran virus jokowi syndrome semakin akut, khususnya pada penanganan kasus mega korupsi pertamina, PT Timah dan praktek markus yang mulai terasa berjalan lamban dan ada keengganan untuk mengejar otak pelaku yang melibatkan para pejabat negara dan oligarki kakap.
Presiden Prabowo hendaknya memberi warning kepada kejagung, bahwa penempatan prajurit TNI di jajaran kejaksaan, bukan makan siang gratis, tapi ada konsekuensi yang nantinya ditagih oleh negara, yaitu kerhasilan maksimal kejagung dalam mengungkap kasus-kasus mega korupsi, hingga terjerat otak pelakunya. Presiden Prabowo sudah saatnya memberi himbauan kepada seluruh rakyat, untuk secara mandiri memelihara kekebalan nasionalisme, menghadapi pandemi virus jokowi syndrome yang saat ini telah menjangkiti lingkungan pejabat negara.