Kutacane, Baranews | Di tengah praktik pungutan yang kerap dibungkus kesepakatan komite atau kebutuhan sekolah, SMK Negeri 1 Kutacane menjadi sorotan setelah terbukti melakukan pengutipan uang seragam siswa baru. Namun kali ini, alur yang biasa berujung pembiaran justru dibalik oleh selembar surat edaran dan satu keputusan tegas: uang dikembalikan, aturan ditegakkan.
Langkah ini disampaikan langsung oleh Kepala Cabang Dinas (Kacabdin) Pendidikan Aceh Wilayah Aceh Tenggara, Jupri RM, S.Pd., M.Si., dalam rapat resmi yang digelar di lingkungan sekolah pada Senin, 28 Juli 2025. Dalam forum terbuka yang dihadiri kepala sekolah, pengurus komite, dan perwakilan orang tua siswa, tidak ada pembelaan yang dilayangkan. Semuanya mengakui bahwa kebijakan pengutipan uang seragam melanggar Surat Edaran Gubernur Aceh yang secara tegas melarang segala bentuk pungutan di sekolah negeri.
“Kami menjalankan sesuai isi surat edaran Gubernur. Tidak ada pembelian seragam sekolah melalui pihak sekolah,” tegas Jupri. Kata-kata itu menjadi semacam palu pemutus, menyudahi polemik yang seharusnya tak pernah muncul bila aturan sejak awal dihormati.
Lebih lanjut, Jupri menekankan bahwa praktik semacam ini tidak boleh terulang. Ia meminta agar pengembalian uang menjadi bentuk pertanggungjawaban nyata dari pihak sekolah, dan bukan sekadar reaksi sementara atas tekanan publik. “Kami sudah minta uang dikembalikan, dan hari ini proses itu dilakukan. Ke depan, hal seperti ini jangan sampai terjadi lagi,” katanya tanpa memberi ruang untuk celah interpretasi.
Fenomena pengutipan seragam oleh sekolah memang bukan hal baru. Di banyak tempat, praktik ini sudah mengakar dan dianggap “biasa”. Tapi kasus di SMKN 1 Kutacane menunjukkan bahwa ketika ada kemauan dari otoritas pendidikan untuk tegak lurus pada kebijakan, kebiasaan buruk itu bisa dihentikan. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk melawan arus lama dan komitmen untuk memulihkan kepercayaan publik.
Dari luar sekolah, suara apresiasi datang dari Ketua LSM Korek, Irwansyah. Ia menyebut pengembalian dana seragam ini sebagai langkah positif yang mencerminkan tanggung jawab moral dan transparansi lembaga pendidikan. “Orang tua siswa tentu bersyukur atas dikembalikannya uang seragam tersebut. Ini adalah langkah yang positif dan harus menjadi contoh bagi sekolah lainnya,” ujarnya.
Namun peristiwa ini tidak bisa hanya berhenti pada pengembalian uang. Lebih dari itu, ia harus menjadi awal dari pengawasan yang lebih ketat terhadap semua praktik pendidikan yang berpotensi menyimpang. Jupri pun menyerukan peran aktif media dan lembaga swadaya masyarakat untuk turut mengawasi sektor pendidikan di Aceh Tenggara, agar bersih dari pungli dan bentuk pelanggaran lainnya.
Nilai uang seragam yang dikembalikan mungkin tidak besar. Tetapi maknanya tidak kecil. Ia menjadi tanda bahwa aturan masih bisa menundukkan kebiasaan, bahwa sistem bisa bekerja bila ada yang berani menyalakan alarm. Pengembalian ini bukan sekadar soal uang kembali ke tangan wali murid, tetapi tentang bagaimana sekolah negeri kembali kepada marwahnya sebagai ruang yang adil, bersih, dan bisa dipercaya.
Pertanyaannya kini adalah: akankah peristiwa di SMKN 1 Kutacane menjadi contoh untuk sekolah-sekolah lain di Aceh? Atau justru tinggal sebagai catatan satu kali, di tengah praktik yang kembali merayap saat sorotan meredup?
(RED)