Blangkejeren | Lembaga Leuser Aceh (LLA) secara tegas mempertanyakan keabsahan izin eksplorasi yang diklaim dimiliki oleh PT Gayo Mineral Resources (PT GMR) dalam menjalankan aktivitas pertambangan di wilayah Desa Kenyaran, Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues. LLA menilai bahwa proses perizinan yang menyertai kehadiran PT GMR di wilayah tersebut masih menyisakan banyak tanda tanya, khususnya terkait transparansi informasi, batas wilayah operasional, serta dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Sekretaris Lembaga Leuser Aceh, Abdiansyah, yang ditemui wartawan pada Jumat, 20 Juni 2025, menyatakan bahwa selama ini pihaknya tidak pernah memperoleh salinan sah atas dokumen Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi maupun dokumen lingkungan seperti UKL-UPL atau AMDAL dari perusahaan tersebut. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap informasi publik yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam wajib diumumkan secara berkala dan terbuka kepada masyarakat. Selain itu, ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menegaskan bahwa kegiatan pertambangan hanya dapat dilakukan setelah pemegang izin memenuhi seluruh kewajiban administratif dan teknis, termasuk pengurusan dokumen lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Abdiansyah, jika memang PT GMR sudah mengantongi IUP Eksplorasi, seharusnya dokumen pendukungnya seperti peta wilayah kerja, keputusan gubernur, serta surat persetujuan lingkungan telah diumumkan kepada publik melalui sistem OSS-RBA atau portal resmi Pemerintah Aceh. Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya: aktivitas alat berat telah berlangsung sejak pertengahan 2024, sementara masyarakat sekitar, termasuk para pemangku kepentingan lokal, tidak mengetahui secara pasti batas wilayah konsesi yang dimiliki perusahaan. Ini menimbulkan dugaan kuat bahwa sebagian aktivitas telah memasuki kawasan hutan lindung tanpa izin sah, yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Abdiansyah menambahkan, Pemerintah Aceh dan instansi vertikal seperti Dinas Lingkungan Hidup, Dinas ESDM, serta Balai Pengelolaan Hutan Produksi dan Konservasi wajib bertindak cepat untuk melakukan audit menyeluruh terhadap dokumen perizinan dan kegiatan lapangan PT GMR. Kegiatan eksplorasi, meskipun belum masuk tahap operasi produksi, tetap menimbulkan dampak ekologis yang signifikan, terutama karena berada di dalam lanskap penting yang menopang Daerah Aliran Sungai (DAS) strategis kawasan Leuser. Oleh karena itu, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23 dan 24 PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap usaha atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan wajib terlebih dahulu memperoleh Persetujuan Lingkungan melalui penyusunan AMDAL atau UKL-UPL yang dapat diuji publik.
“Jika tidak ada dokumen lingkungan yang bisa diperlihatkan kepada publik, maka keberadaan PT GMR patut diduga sebagai bentuk pelanggaran administratif sekaligus ancaman terhadap tata kelola lingkungan hidup yang adil. Kita tidak ingin hutan lindung digerogoti secara perlahan hanya karena pembiaran terhadap aktivitas yang mengaku legal, tapi nyatanya tertutup dari pengawasan publik,” ujar Abdiansyah.
Ia juga menyinggung pentingnya peran DPRK Gayo Lues dalam mengawal isu ini agar tidak berhenti di meja birokrasi. Desakan sejumlah anggota dewan yang meminta pencabutan izin PT GMR menurutnya adalah bentuk kepedulian terhadap kedaulatan ekologis yang selama ini menjadi kekuatan utama Kabupaten Gayo Lues sebagai kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Bahkan jika terbukti ada pelanggaran terhadap kawasan hutan, maka pencabutan izin menjadi kewajiban hukum yang harus dijalankan oleh Pemerintah Aceh maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Abdiansyah juga menyebut bahwa berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 86.K/MEM/2022 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Aceh, seluruh kegiatan pertambangan di wilayah Gayo Lues harus berada di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Jika PT GMR tidak bisa membuktikan bahwa wilayah eksplorasi mereka sepenuhnya berada di luar kawasan yang dilindungi, maka perusahaan tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap perizinan ruang dan lingkungan.
“Kami tidak anti-investasi, tapi kami anti terhadap ketertutupan informasi dan ketidakpatuhan terhadap hukum. Masyarakat Gayo Lues berhak mengetahui siapa yang menggali bumi mereka, dengan izin dari siapa, dan dengan rencana dampak apa. Semua itu seharusnya dibuka, bukan ditutup-tutupi,” tegasnya.
Lembaga Leuser Aceh pun dalam waktu dekat akan mengirimkan surat resmi kepada Gubernur Aceh, Kepala Dinas ESDM, Kepala DLH Aceh, dan Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera untuk meminta penjelasan dan investigasi lapangan atas seluruh aktivitas PT GMR. Mereka juga mendorong aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah Aceh untuk mengawasi potensi pelanggaran pidana lingkungan yang dapat muncul dari aktivitas tambang eksplorasi yang tidak sesuai ketentuan hukum.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak PT GMR belum memberikan keterangan resmi atas berbagai pertanyaan dan sorotan yang disampaikan oleh Lembaga Leuser Aceh. Beberapa upaya konfirmasi redaksi juga belum mendapat tanggapan dari manajemen perusahaan. (TIM)