Penulis : Sri Radjasa, M.BA
DALAM sejarah politik Indonesia pasca reformasi, kita kerap menyaksikan wajah korupsi yang semakin canggih. Jika Orde Baru dipenuhi praktik rente yang kasar, kini kita berhadapan dengan bentuk yang lebih halus namun tidak kalah berbahaya yaitu korupsi kebijakan. Ia tidak sekadar menggerogoti keuangan negara, melainkan merusak sendi-sendi keadilan sosial. Kasus yang melibatkan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Yandri Susanto, adalah contoh mutakhir dari fenomena ini.
Hanya beberapa hari setelah dilantik, Yandri sudah menghebohkan publik. Surat perintah kumpul kepada kepala desa di Serang, menggunakan kop resmi kementerian, diduga untuk kepentingan pencalonan istrinya sebagai bupati. Di sini terlihat bagaimana institusi negara dipinjamkan untuk kepentingan keluarga. Negara yang semestinya netral, berubah menjadi alat dinasti politik.
Tak berhenti di situ. Pemutusan kontrak sepihak terhadap 10 ribu pendamping desa, yang kemudian dinyatakan maladministrasi oleh Ombudsman RI, memperlihatkan betapa kekuasaan digunakan tanpa memperhatikan prosedur dan keadilan. Yang lebih mencengangkan adalah temuan terkait surat DPW PAN Jawa Barat, tertanggal 29 Agustus 2025, yang secara eksplisit menyebut adanya kuota calon pendamping desa untuk kader partai. Fakta ini memperlihatkan adanya patronase politik berupa jabatan publik dijadikan sarana distribusi rente untuk partai.
Dalam literatur ilmu politik, praktik ini dikenal sebagai state capture, situasi ketika kebijakan negara tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan dikooptasi oleh kepentingan oligarki politik. Guillermo O’Donnell pernah mengingatkan bahwa demokrasi yang hanya prosedural, tanpa akuntabilitas substantif, akan melahirkan “brown areas” di mana hukum dan institusi formal lumpuh di hadapan kepentingan elite. Yandri, dengan kebijakannya, sedang memperluas brown area itu ke level desa.
Padahal, desa bukan sekadar unit administratif. Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014, desa diakui sebagai entitas otonom dengan hak mengatur rumah tangganya. Kehadiran pendamping desa adalah instrumen untuk memastikan dana desa yang triliunan rupiah terserap efektif, transparan, dan berpihak pada masyarakat. Jika proses rekrutmen dipolitisasi, jika kuota diberikan berdasarkan kedekatan partai, maka yang runtuh bukan hanya meritokrasi, melainkan juga kepercayaan rakyat pada janji kesejahteraan.
Korupsi kebijakan lebih berbahaya daripada korupsi uang. Jika korupsi uang bisa dihitung kerugiannya, korupsi kebijakan merusak tata kelola dalam jangka panjang. Ia mewariskan sistem yang korup, membentuk kebiasaan buruk, dan memperdalam jurang ketidakadilan. Rakyat desa yang seharusnya mendapatkan pendamping profesional justru dipaksa menerima aparat partai. Mereka yang mestinya menjadi fasilitator pemberdayaan berubah menjadi perpanjangan tangan elite politik.
Presiden Prabowo Subianto tidak boleh menutup mata. Negara membutuhkan ketegasan di tengah praktik yang semakin vulgar ini. Pembiaran hanya akan memperburuk krisis kepercayaan rakyat terhadap demokrasi. Sejarah mengajarkan bahwa korupsi yang dilegitimasi lewat kebijakan jauh lebih sulit diberantas daripada sekadar tindak pidana korupsi. Karena itu, langkah pertama adalah keberanian politik untuk mencopot pejabat yang menggunakan jabatannya sebagai mesin patronase.
Desa adalah akar republik ini. Jika desa dibiarkan menjadi ladang bancakan politik, maka cita-cita pembangunan dari pinggiran akan tinggal slogan. Korupsi kebijakan Menteri Yandri adalah pengkhianatan terhadap konstitusi, terhadap demokrasi, dan terhadap rakyat kecil. Inilah saatnya rakyat menagih kembali janji bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan alat untuk mengukuhkan dinasti dan partai.