Gayo Lues, Baranews — Keputusan pemerintah yang memberikan izin eksplorasi tambang kepada perusahaan GMR di kawasan hutan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, menuai kecaman keras. Izin tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 263 Tahun 2025 tertanggal 16 Mei 2025, dan dinilai sebagai bentuk nyata pembiaran negara terhadap kerusakan lingkungan yang sistematis.
Sorotan tajam disampaikan oleh Sekretaris Lembaga Leuser Aceh, Abdiansyah SST, yang dengan tegas menyatakan penolakan total terhadap segala bentuk eksploitasi kawasan hutan, termasuk yang dibungkus atas nama investasi nasional.
“Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur. Ini kejahatan lingkungan yang dilegalkan. Kawasan hutan bukan lahan bebas yang bisa dikapling untuk kepentingan korporasi. GMR masuk ke wilayah yang secara hukum dan moral harus dilindungi. Kami tegaskan: Lembaga Leuser Aceh menolak keras dan anti terhadap segala bentuk eksploitasi di kawasan hutan, titik,” ujar Abdiansyah, pada 21 Juni 2025.
Ia menegaskan bahwa pihaknya sejak lama telah mencermati pola-pola eksploitasi terselubung di wilayah ekosistem Leuser, termasuk di Gayo Lues yang merupakan salah satu kantong hutan alam terluas di Aceh. Menurutnya, kasus GMR adalah contoh nyata dari kegagalan negara dalam menjaga warisan ekologisnya.
“Tidak ada bukti bahwa tambang seperti ini mensejahterakan masyarakat. Yang ada justru kerusakan permanen: air bersih menghilang, tanah longsor, satwa punah, dan masyarakat terbelah karena konflik lahan. Lalu siapa yang untung? Segelintir elite yang bersembunyi di balik izin resmi,” tegasnya.
Abdiansyah juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) untuk segera mengusut tuntas seluruh proses pemberian izin tambang kepada GMR. Ia meminta agar KPK tidak hanya fokus pada surat keputusan terakhir, tapi juga memeriksa jejak panjang izin-izin sebelumnya di kawasan yang sama.
“Kami minta KPK RI segera turun ke Gayo Lues. Jangan hanya fokus pada korupsi anggaran, tapi buka juga kejahatan lingkungan yang merampas hak hidup masyarakat. Usut dari siapa yang mengusulkan, siapa yang menyetujui, dan siapa yang diuntungkan. Telusuri juga izin-izin sebelumnya. Jangan biarkan rakyat dibohongi dengan kata ‘resmi’, padahal dampaknya adalah kehancuran,” lanjutnya.
Ia juga mengkritik sikap pemerintah daerah yang dinilainya terlalu lemah dan kompromistis. Pemkab Gayo Lues, menurutnya, seharusnya menjadi pihak pertama yang menolak eksploitasi kawasan hutan—bukan justru diam saat hutan diserahkan ke korporasi.
“Bupati di mana? DPRK di mana? Apakah mereka tidak tahu bahwa kawasan ini adalah sumber air ribuan warga? Atau sudah terbiasa melihat hutan dikapling demi proyek tambang dan bagi-bagi keuntungan?” ucapnya.
Abdiansyah memastikan bahwa Lembaga Leuser Aceh akan terus melakukan advokasi, konsolidasi masyarakat sipil, serta kampanye nasional untuk menghentikan semua bentuk tambang di kawasan hutan. Ia menyebut perjuangan ini bukan sekadar isu lingkungan, melainkan pertarungan moral demi keadilan antargenerasi.
“Kalau hari ini kita biarkan satu izin lolos, besok akan menyusul sepuluh lagi. Dan saat hutan terakhir ditebang, kita semua kehilangan hidup. Maka tidak ada tawar-menawar: kawasan hutan adalah batas mutlak. Tak boleh disentuh tambang, apalagi oleh korporasi seperti GMR,” pungkasnya. (tim)