Aceh Selatan – Himpunan Mahasiswa Pemuda dan Pelajar Trumon (HMP2T) menyampaikan kritik keras terhadap langkah Bupati Aceh Selatan yang memilih berangkat umrah di saat masyarakat Trumon dan wilayah Aceh Selatan masih berjuang memulihkan diri pasca banjir besar. Keputusan tersebut memicu kekecewaan mendalam, terlebih setelah sebelumnya beredar pernyataan bahwa pemerintah daerah “tidak mampu menangani banjir Trumon”.
Ketua Umum HMP2T, *T. Ridwansyah*, menyebut tindakan itu sebagai ironi kepemimpinan dan pukulan moral bagi masyarakat yang sedang berduka. Sementara warga di lapangan berjuang membersihkan rumah, memperbaiki jembatan, dan menunggu kehadiran pemimpin mereka, justru muncul kabar bahwa sang bupati memilih meninggalkan daerah untuk melaksanakan ibadah umrah.
“Kami mahasiswa, para pemuda, para relawan, sedang mengumpulkan donasi, mengevakuasi masyarakat, mengangkat lumpur, dan bekerja tanpa tidur. Tapi pemimpin tertinggi daerah ini malah pergi umrah setelah mengaku tak mampu menangani banjir. Maaf, ini bukan soal ibadah—ini soal prioritas dan hati nurani!” tegas T. Ridwansyah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ridwansyah menambahkan bahwa masyarakat Aceh Selatan patut mempertanyakan sensitivitas dan tanggung jawab moral bupati dalam situasi darurat seperti ini. Menurutnya, keberangkatan umrah di tengah krisis bukan sekadar persoalan keputusan pribadi, melainkan cerminan kualitas kepemimpinan.
“Di saat rakyatnya masih menyeka air mata, di saat warga Trumon tidak tahu harus tidur di mana, pemimpin yang seharusnya berdiri paling depan malah tidak berada di tempat. Bagaimana mungkin seorang bupati mengangkat tangan, mengatakan tidak mampu, lalu pergi meninggalkan rakyat? Ini bukan teladan ini pengingkaran terhadap amanah.”
HMP2T menegaskan bahwa mereka bukan menolak ibadah atau niat baik, tetapi menolak waktu yang tidak tepat, sikap yang tidak peka, dan pemimpin yang tidak hadir ketika rakyat membutuhkan.
“Kami ingin kepemimpinan yang punya hati. Kepemimpinan yang hadir di lumpur, bukan hanya hadir di baliho. Kalau pemimpin kami memilih pergi ketika rakyat tenggelam dalam kesulitan, kami sebagai mahasiswa wajib bersuara. Karena diam di tengah ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap nurani.” ujar Ridwansyah menutup pernyataannya.







































