GAYO LUES, BARANEWS | Jalan provinsi yang menghubungkan Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, menuju perbatasan Aceh Timur kembali menjadi sorotan publik. Proyek ambisius dengan nilai mencapai ratusan miliar rupiah yang dikerjakan melalui skema multiyears pada 2021–2023 itu kini rusak berat, hanya dua tahun sejak diresmikan. Di tengah medan Aceh yang rawan longsor dan banjir, proyek ini justru gagal menjawab kebutuhan masyarakat akan akses jalan yang layak dan aman.
Kawasan paling terdampak berada di Lempusing, Kecamatan Pining, tempat ruas jalan kerap terguyur longsor dan tertutup aliran air hujan. Lumpur menutupi jalur utama, mengancam keselamatan pengguna jalan dan memutus akses vital yang menghubungkan Gayo Lues dan Aceh Timur. Camat Pining, Win Julvian, mengaku telah berulang kali melaporkan kondisi ini kepada UPTD Wilayah IV Dinas PUPR Aceh, namun belum ada tanggapan ataupun tindakan signifikan. “Kondisi jalan ini sangat memprihatinkan. Sudah kami koordinasikan ke provinsi, tapi sampai hari ini belum ada perbaikan. Padahal ini proyek besar,” katanya.

Kekhawatiran yang disampaikan bukan tanpa alasan. Menurut Win, wilayah barat ke timur Aceh ini sering dilalui kendaraan logistik dan ambulans, serta menjadi jalur kritis pendukung kegiatan masyarakat. Beberapa warga setempat bahkan terpaksa melakukan perbaikan darurat dengan menimbun lubang memakai batu secara swadaya agar kendaraan tetap dapat melintas, meski dengan risiko tinggi.
“Kalau baru dibangun saja sudah ambruk seperti ini, berarti ada masalah serius sejak dari tahap awal pengerjaan,” ujar seorang tokoh masyarakat Lempusing yang enggan disebutkan namanya. Menurutnya, tipisnya lapisan aspal, minimnya drainase, dan ketiadaan pengaman tebing menunjukkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan proyek tidak dilakukan sesuai standar teknis infrastruktur di medan ekstrem seperti Aceh.
Regulasi sebenarnya cukup jelas dalam mengatur tanggung jawab dan kualitas proyek. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, setiap proyek konstruksi wajib melalui tahapan evaluasi teknis yang ketat serta disertai pelatihan penyedia jasa dalam melakukan pekerjaan sesuai spesifikasi. Pengawasan atas pelaksanaan kontrak juga menjadi bagian dari tanggung jawab Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), serta peran auditor internal inspektorat. Selain itu, Permen PU No. 13/PRT/M/2011 tentang Tata Cara Pemeliharaan dan Penilaian Kinerja Jalan, mengatur bahwa pemerintah wajib menjamin kualitas jalan sesuai umur layan minimal 5 hingga 10 tahun tergantung spesifikasi pekerjaan.
Apa yang terjadi di Pining tampaknya jauh dari prinsip-prinsip tersebut. Indikasi lemahnya pengawasan mengemuka, mengingat proyek bernilai besar dengan rentang waktu panjang seharusnya tidak menunjukkan kerusakan secepat ini. Dalam sistem multiyears berbasis APBA seperti yang diterapkan Pemerintah Aceh, kontrol teknis idealnya dilakukan secara berkala baik oleh pengawas lapangan internal dinas maupun pihak ketiga seperti Inspektorat dan BPKP. Jika semua itu berjalan sebagaimana mestinya, kerusakan struktural di jalan multiyears Gayo Lues tidak akan muncul hanya dalam dua musim hujan.
Win Julvian menegaskan, lalainya penanganan oleh instansi terkait telah menyebabkan berbagai titik di jalur BKJ–Pining–Aceh Timur dalam kondisi rusak parah. “Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi sudah menyangkut keselamatan warga. Perlu tindakan cepat agar akses tidak benar-benar terputus saat intensitas hujan semakin meningkat,” katanya.
Fenomena jalan baru rusak bukan terjadi di Gayo Lues saja. Dalam beberapa bulan terakhir, kerusakan juga dilaporkan pada ruas lain seperti di Bireuen, Aceh Besar, dan Aceh Tamiang, yang semuanya mengindikasikan pola pengerjaan yang seragam: cepat rusak, kualitas minim, dan tanggung jawab mengambang antara kontraktor dan pemerintah daerah. Jadilah proyek dengan anggaran miliaran rupiah tidak lebih dari janji yang aspalnya mengelupas.
Warga kini tak hanya menuntut janji perbaikan, tetapi juga kejelasan hukum. Jika terbukti ada kelalaian dalam proses pengadaan, pengawasan, atau pelaksanaan proyek, maka bisa dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu pasalnya menyebutkan secara tegas bahwa penyalahgunaan kewenangan dalam proyek negara yang menyebabkan kerugian keuangan negara dapat dijerat pidana.
Desakan kepada Gubernur Aceh dan Dinas PUPR Aceh untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap proyek ini terus disuarakan. Pemeriksaan hukum terhadap pelaksana proyek juga disarankan oleh lembaga swadaya masyarakat dan tokoh masyarakat setempat.
Jika jalan provinsi yang dibangun dari uang rakyat gagal bertahan dalam hitungan tahun, maka publik berhak tahu siapa yang lalai, siapa yang harus bertanggung jawab, dan siapa yang akan memperbaikinya. Sebab di balik jalan yang rusak, tersimpan kehidupan masyarakat yang terancam terisolasi. (TIM)













































