Banda Aceh | Pemerintah Aceh melalui Gubernur Muzakir Manaf secara resmi mengirimkan surat teguran kepada PT. Kencana Hijau Binalestari, perusahaan pengelola pabrik pengolahan getah pinus yang beroperasi di wilayah Aceh. Surat bernomor 500.4/4737 yang bersifat “Segera” itu menyoroti hasil temuan pelanggaran administrasi lingkungan hidup dari hasil verifikasi lapangan oleh Tim Terpadu Pemerintah Aceh.
Verifikasi tersebut dilakukan pada dua waktu berbeda, yakni pada tanggal 27 Juni 2024 dan 26 Februari 2025. Tim terpadu terdiri dari unsur Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Aceh, dan Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh. Mereka menemukan sejumlah pelanggaran yang dinilai serius dan berpotensi mengganggu kelestarian lingkungan serta ketertiban administratif perizinan usaha.
Dalam isi surat tersebut, Gubernur Muzakir Manaf menegaskan bahwa PT. Kencana Hijau Binalestari telah melakukan pelanggaran dan/atau ketidaksesuaian terhadap sejumlah ketentuan pengelolaan lingkungan hidup. Adapun temuan penting yang menjadi dasar teguran ini meliputi:
-
Tidak Memenuhi Ketentuan Teknis Cerobong Emisi Boiler
Perusahaan dinilai belum melengkapi atau memenuhi standar teknis terkait sistem cerobong emisi dari unit boiler yang digunakan dalam proses produksi. Hal ini berisiko tinggi terhadap pencemaran udara jika tidak segera ditindaklanjuti. -
Tidak Menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM)
Kewajiban pelaporan LKPM sebagai bentuk transparansi kegiatan investasi dan perkembangan usaha tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan, yang merupakan pelanggaran administratif terhadap ketentuan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). -
Belum Menghapus Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang Duplikatif
Ditemukan bahwa perusahaan memiliki klasifikasi KBLI yang tumpang tindih, yang dapat menyebabkan ketidakjelasan ruang lingkup izin usaha serta potensi pelanggaran hukum apabila digunakan secara tidak semestinya.
Atas dasar temuan tersebut, Gubernur Muzakir Manaf memberikan ultimatum kepada perusahaan untuk segera melakukan tindakan pemenuhan kewajiban sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Perusahaan diberi waktu selama 30 hari terhitung sejak surat diterima untuk menyelesaikan seluruh perbaikan administratif dan teknis.
“Demi menjaga integritas pengelolaan lingkungan hidup dan memastikan seluruh kegiatan industri di Aceh berjalan sesuai regulasi, maka tindakan tegas ini harus segera direspons oleh perusahaan,” demikian bunyi penekanan dalam surat resmi tersebut.
Surat itu juga ditembuskan kepada sejumlah pihak berwenang di tingkat nasional dan daerah, yaitu:
-
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Republik Indonesia;
-
Bupati Gayo Lues;
-
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh;
-
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Aceh.
Tembusan ini menunjukkan bahwa pelanggaran yang ditemukan tidak hanya ditangani secara internal, tetapi juga menjadi perhatian otoritas pusat, termasuk kementerian lingkungan hidup di Jakarta.
Sikap tegas Pemerintah Aceh ini merupakan bentuk penegakan terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan yang menempatkan pelestarian lingkungan hidup sebagai pilar utama. Terlebih dalam konteks kawasan Aceh yang memiliki banyak kawasan hutan lindung, ekosistem gambut, serta biodiversitas penting, semua aktivitas industri diharapkan berjalan dengan memperhatikan tanggung jawab ekologis dan hukum.
Pengamat lingkungan menilai bahwa langkah Gubernur Aceh ini patut diapresiasi. “Ini adalah bentuk keberanian dan kepemimpinan dalam menjaga kualitas lingkungan hidup. Perusahaan harus sadar bahwa kegiatan ekonomi tidak boleh mengabaikan dampak ekologis dan kewajiban administratifnya,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak PT. Kencana Hijau Binalestari. Namun masyarakat sipil dan aktivis lingkungan di Aceh berharap teguran ini tidak hanya menjadi formalitas, melainkan benar-benar ditindaklanjuti dengan sanksi administratif hingga penghentian izin jika perusahaan tetap abai.
Pemerintah daerah diharapkan terus melakukan pemantauan lapangan dan membangun mekanisme pelaporan publik untuk mencegah terjadinya pelanggaran lingkungan di masa mendatang. Dengan semakin banyaknya aktivitas industri di Aceh, pengawasan terhadap aspek lingkungan hidup menjadi kebutuhan mendesak untuk menjaga warisan alam bagi generasi yang akan datang. (TIM)