Gayo Lues – Polemik penyertaan modal sebesar Rp1 miliar ke Bank Aceh Syariah oleh Pemerintah Kabupaten Gayo Lues terus bergulir. Kini, sorotan publik tak hanya soal ketidakterbukaan, tetapi juga mengarah pada dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang bisa tersembunyi di balik mekanisme investasi tertutup ini. DPRK Gayo Lues diminta bertanggung jawab secara hukum dan politik, karena dinilai lalai menjalankan fungsi pengawasan.
Penyertaan modal yang dilakukan tanpa kajian kelayakan terbuka, tanpa laporan rinci kepada publik, dan tidak disertai Peraturan Daerah (Perda) sebagai dasar hukum resmi, dinilai sebagai bentuk pengelolaan keuangan negara yang rawan disalahgunakan.
Menurut LSM LIRA, praktik semacam ini membuka ruang bagi manipulasi aliran dana yang berpotensi menyamarkan asal usul uang publik, sehingga masuk dalam kategori pencucian uang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Pasal 3 dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).”
“Kalau dana APBD dialihkan melalui BUMD ke rekening perbankan tanpa transparansi, maka patut diduga ada motif lebih besar: menyamarkan jejak uang, atau bahkan menampung hasil korupsi lewat instrumen legal seperti penyertaan modal,” kata juru bicara LIRA.
DPRK Gayo Lues, sebagai lembaga pengawas dan pemberi persetujuan anggaran, didesak untuk mengungkap siapa yang menginisiasi kebijakan ini dan apakah proses pengambilan keputusannya sah. Jika DPRK tidak memiliki dokumen persetujuan atau laporan pertanggungjawaban dari eksekutif, maka dugaan praktik ilegal semakin kuat.
“Bisa saja ini hanya modus. Dana publik dialihkan ke BUMD, lalu ‘dicuci’ lewat investasi di Bank, dan selanjutnya digunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Celah seperti ini sering terjadi ketika tidak ada transparansi dan akuntabilitas,” lanjutnya.
LIRA menilai skema penyertaan modal yang tertutup dan tanpa audit terbuka dapat digunakan untuk mengaburkan jejak uang negara, memutar dana secara legal di sistem perbankan, hingga akhirnya dinikmati secara pribadi oleh elite tertentu. Semua unsur ini memenuhi karakteristik pencucian uang: menyembunyikan, menyamarkan, dan mengalihkan aset dari tindak pidana.
Oleh sebab itu, LIRA mendesak Kejaksaan, Polres Gayo Lues, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera turun tangan, menelusuri aliran dana, perjanjian penyertaan modal, rekening tujuan, dan pihak-pihak yang menerima keuntungan.
“Jangan sampai modus ini terus berulang. Kami juga mendesak PPATK untuk melacak pola transaksi keuangan yang terkait penyertaan modal ini. Bila ditemukan kejanggalan, maka kasus ini harus diproses sebagai dugaan TPPU dan korupsi,” tegasnya.
LSM LIRA juga menuntut agar DPRK Gayo Lues segera menggelar rapat terbuka bersama eksekutif dan menyampaikan laporan tertulis kepada publik terkait status penyertaan modal tersebut, agar tidak muncul kecurigaan bahwa lembaga legislatif turut “bermain” dalam skema yang berisiko melanggar hukum. (tim)