Blangkejeren , Baranews — Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Gayo Lues kembali menjadi sorotan setelah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) mengungkap temuan mengejutkan terkait pertanggungjawaban perjalanan dinas anggota dan pegawai dewan. Dalam laporan Nomor 18.A/LHP/XVIII.BAC/05/2024 yang dirilis pada 21 Mei 2024, BPK menyatakan bahwa terdapat sebanyak 111 bill hotel yang diduga fiktif, tidak dapat diverifikasi keabsahannya, dan berpotensi merugikan keuangan daerah.
BPK menyebut bahwa bukti penginapan yang diajukan oleh Sekretariat DPRK sebagai bagian dari laporan pertanggungjawaban perjalanan dinas banyak yang tidak sesuai fakta lapangan. Bahkan terdapat peserta perjalanan dinas yang tidak menginap di hotel, melainkan di rumah keluarga atau tempat lain, namun tetap mengklaim biaya penuh penginapan. Seharusnya, biaya perjalanan dinas hanya dibayarkan jika dibuktikan dengan dokumen sah dan kegiatan benar-benar dilaksanakan sesuai rencana.
Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan bahwa verifikasi atas dokumen tagihan hotel tidak dilakukan dengan cermat oleh pejabat penatausahaan keuangan. Akibatnya, pertanggungjawaban anggaran perjalanan dinas menjadi tidak valid. Hal ini jelas melanggar asas kejujuran, efisiensi, dan akuntabilitas sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Tak hanya itu, BPK juga mencatat temuan serius lainnya di lingkungan Sekretariat DPRK Gayo Lues. Salah satunya adalah pembayaran tunjangan alat kelengkapan dewan sebesar Rp28.318.500 kepada anggota DPRK yang tidak aktif dalam alat kelengkapan resmi seperti komisi, badan musyawarah, atau badan anggaran. Seharusnya, tunjangan tersebut hanya diberikan kepada anggota yang aktif melaksanakan fungsi alat kelengkapan, sesuai dengan PP Nomor 18 Tahun 2017 dan Perbup Gayo Lues Nomor 37 Tahun 2017.
BPK juga menemukan kelebihan pembayaran biaya penginapan senilai Rp13.786.500 dalam kegiatan Bimbingan Teknis Partai Politik. Dana tersebut dibayarkan kepada peserta padahal biaya penginapan seharusnya sudah ditanggung oleh penyelenggara kegiatan. Ketidaksesuaian ini menunjukkan lemahnya kontrol atas kebijakan perjalanan dinas dan melanggar prinsip keuangan yang tertib dan sah.
Selanjutnya, dalam kegiatan yang sama, terdapat kelebihan pembayaran uang harian dan uang representasi sebesar Rp2.160.000, karena perhitungan dilakukan selama enam hari padahal kegiatan hanya berlangsung lima hari. Seharusnya, penghitungan biaya perjalanan dilakukan berdasarkan durasi kegiatan riil, bukan asumsi atau penggelembungan waktu.
Dalam hal honorarium, Sekretariat DPRK juga tercatat membayarkan honorarium melebihi standar satuan harga sebesar Rp15.410.400. Seharusnya, pembayaran honor mengikuti batasan tarif resmi yang ditetapkan dalam peraturan kepala daerah atau standar biaya daerah. Pembayaran yang tidak sesuai mencerminkan lemahnya pengendalian belanja rutin dan membuka celah pemborosan anggaran.
Selain itu, BPK mengungkap bahwa pada belanja jasa kantor, terdapat realisasi honorarium senilai Rp2.069.511.622,24 yang juga tidak sesuai ketentuan. Pengeluaran sebesar itu seharusnya dilakukan berdasarkan kebutuhan riil dan analisis jabatan yang jelas, bukan hanya berdasarkan alokasi anggaran semata.
Sementara itu, dari hasil pemantauan tindak lanjut temuan tahun sebelumnya (Tahun Anggaran 2022), BPK mencatat masih terdapat kelebihan pembayaran uang hotel dan uang harian yang belum dikembalikan ke kas daerah oleh beberapa nama anggota dewan. Seharusnya, rekomendasi pengembalian dana tersebut sudah ditindaklanjuti penuh oleh Sekretariat DPRK sebagai bentuk ketaatan terhadap hasil pemeriksaan.
Ketika dikonfirmasi oleh wartawan melalui sambungan seluler pada hari ini Senin, (22/06/2025) Sekretaris DPRK Gayo Lues, Khalidin, S.Pd, tidak memberikan penjelasan mendalam. Ia hanya menjawab singkat, “Itu kan temuan BPK,” lalu tidak merespons lebih lanjut pertanyaan mengenai langkah pengembalian dana dan tindak lanjut internal yang seharusnya dilaksanakan.
Sikap pasif dari pejabat publik atas temuan yang menyangkut pengelolaan uang rakyat justru menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat. Apalagi dalam konteks temuan BPK, sejumlah indikasi manipulasi administrasi dan dokumen menjadi perhatian serius. Oleh karena itu, banyak pihak mendesak agar Aparat Penegak Hukum (APH) seperti kejaksaan dan kepolisian segera menyelidiki dugaan penyimpangan ini.
Masyarakat Gayo Lues menilai bahwa tanggung jawab terhadap anggaran daerah tidak cukup hanya berhenti pada rekomendasi administratif. Dalam kasus yang menyangkut bill hotel fiktif, tunjangan tidak sah, dan honorarium berlebih, APH seharusnya turun tangan untuk memastikan apakah ada unsur tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan wewenang di baliknya.
Karena dalam pengelolaan keuangan publik, setiap rupiah yang digunakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Dan jika benar terjadi pelanggaran, maka pengembalian ke kas daerah saja tidak cukup — harus disertai dengan pemeriksaan menyeluruh dan sanksi tegas sesuai ketentuan perundang-undangan. (TIM MEDIA)