JAKARTA | Tindakan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang memberhentikan dan merazia kendaraan truk berpelat Aceh (BL) di Kabupaten Langkat menuai kritik keras dari parlemen. Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, Dr. H. M. Nasir Djamil, S.Ag., M.Si., mengecam kebijakan tersebut dan menyebut Gubernur Bobby telah menciptakan kebijakan yang tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga membahayakan keharmonisan antarwilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kecaman itu disampaikan pasca-viral beredarnya video Gubernur menghentikan truk pelat Aceh yang terekam secara langsung oleh warga dan menyebar luas di media sosial pada Ahad (28/9/2025). Dalam video itu, Bobby terlihat menanyakan asal kendaraan yang melintas dan menegaskan keinginannya agar kendaraan yang beroperasi di Sumut menggunakan pelat lokal.
“Cabut kebijakan itu segera. Sebab kebijakan itu adalah produk yang mengingkari keharmonisan antardaerah. Tanya Bobby, STNK bermotor itu produk nasional atau daerah? Tanyakan ke Bobby, apa dia masih mengakui bendera merah putih sebagai bendera Indonesia?” ujar Nasir dengan suara tinggi di Jakarta, Ahad petang (28/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nasir menegaskan, STNK dan pelat nomor kendaraan adalah hak administratif nasional yang berlaku di seluruh wilayah republik. Tindakan Bobby, menurutnya, menyalahi prinsip dasar negara kesatuan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
“Ini kebijakan kontra harmoni yang dilakukan oleh seorang gubernur. Bertentangan dengan asas egalitas warga negara di hadapan hukum dan hak atas fasilitas umum,” tegasnya.
Ia kemudian mengingatkan bahwa jalan lintas yang dibangun di Sumatera Utara maupun Aceh menggunakan dana publik dari APBN dan APBD. Dengan demikian, tidak semestinya ada diskriminasi terhadap kendaraan luar provinsi yang melintas secara sah.
“Semua ruas jalan di Indonesia ada uang rakyat di dalamnya, bukan milik otonomi daerah semata. Karena itu, siapa pun tidak berhak melarang kendaraan dari Aceh melintas di Sumut, apalagi dengan dalih pelat atau lokasi registrasi kendaraan,” terangnya.
Tak hanya memberikan kritik, Komisi III DPR RI juga mendesak aparat kepolisian, khususnya Kepolisian Daerah Sumatera Utara, untuk bertindak tegas mengusut kebijakan yang dinilai sewenang-wenang tersebut. Ia tak menutup kemungkinan bahwa tindakan gubernur sudah masuk ke ranah pelanggaran hukum.
“Jika kebijakan ini dipaksakan terus, maka kami minta Polda Sumut untuk mengamankan Bobby dan memprosesnya secara hukum. Kebijakan ini menimbulkan instabilitas dan berpotensi memecah belah masyarakat,” tegas Nasir.
Ia menekankan bahwa bukan kewenangan kepala daerah untuk mengambil langkah hukum atau administrasi terhadap kendaraan berpelat provinsi lain. Jika ditemukan pelanggaran pengangkutan atau kelayakan kendaraan, sepenuhnya menjadi domain aparat kepolisian dan instansi teknis.
“Gubernur harus bertindak secara komprehensif dan bijak, bukan parsial. Masalah seperti pengangkutan barang, tonase, atau perpajakan sudah ada mekanismenya. Jangan justru menciptakan ketegangan antardaerah,” tambah dia.
Nasir Djamil mengingatkan bahwa situasi seperti ini bisa dengan mudah bergeser menjadi isu sosial yang lebih besar. Kepekaan terhadap dinamika daerah, khususnya antara Aceh dan Sumatera Utara yang berbagi sejarah perbatasan panjang, menjadi hal yang sangat penting. Ia memperingatkan agar Gubernur Sumut tidak melanjutkan langkah-langkah yang bisa membenturkan masyarakat dari dua provinsi.
“Ini bukan hanya soal pelat nomor. Ini soal persepsi keadilan dan rasa memiliki sebagai warga negara. Jangan sampai tensi politik lokal merusak tenun kebangsaan yang sudah lama kita bangun,” katanya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terkait razia kendaraan pelat Aceh yang dilakukan langsung oleh Gubernur Bobby Nasution. Masyarakat kini menanti klarifikasi pemerintah daerah dan sikap tegas aparat penegak hukum dalam menyikapi polemik yang telah menjadi perhatian publik nasional ini.


































