BARANEWS | Sejumlah aktivis dan organisasi hak asasi manusia mengadukan tiga perusahaan BUMN pertahanan Indonesia ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Senin (10/2), menuduh ketiga badan usaha milik pemerintah itu memasok senjata dan amunisi untuk militer Myanmar.
Isi pengaduan tersebut menyebutkan bahwa PT Pindad, PT PAL dan PT Dirgantara Indonesia telah mempromosikan dan kemungkinan menjual pistol, senapan serbu, amunisi, kendaraan tempur dan peralatan lainnya kepada militer Myanmar dalam satu dekade terakhir, termasuk kemungkinan setelah kudeta 1 Februari 2021 yang memicu protes massal dan tindakan anarkis di negara itu.
Mereka yang melakukan pengaduan itu termasuk Marzuki Darusman, mantan ketua misi pencari fakta PBB di Myanmar; Salai Za Uk Ling, pemimpin Organisasi Hak Asasi Manusia Chin; dan Proyek Akuntabilitas Myanmar, sebuah kelompok hak asasi manusia internasional.
“Fakta bahwa alutsista (alat utama sistem persenjataan) dipromosikan secara aktif setelah kampanye genosida terhadap Rohingya dan kudeta tahun 2021 menimbulkan kekhawatiran serius dan menimbulkan keraguan terhadap kesediaan pemerintah Indonesia untuk mematuhi kewajibannya berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter,” Marzuki, mantan Jaksa Agung Indonesia, mengatakan dalam keterangannya.
Pengaduan tersebut mengutip bukti bahwa berdasarkan investigasi sumber terbuka dan dari dokumen yang bocor menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia telah mentransfer senjata dan amunisi melalui True North Co. Ltd, sebuah perusahaan yang berbasis di Myanmar yang dimiliki oleh Htoo Htoo Shein Oo. Ia adalah putra dari Win Shein, menteri perencanaan dan keuangan junta Myanmar, yang saat ini dikenai sanksi oleh Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa.
Para pengadu dan Justice For Myanmar juga mendesak pemerintah untuk menjatuhkan sanksi terhadap True North dan pemiliknya sebagai perantara senjata militer Myanmar.
Peran True North sebagai perusahaan swasta yang menegosiasikan kesepakatan antara militer Myanmar dan perusahaan BUMN tersebut menimbulkan kecurigaan akan kemungkinan korupsi yang harus diselidiki oleh pihak berwenang Indonesia, kata mereka.
Bantah jual senjata pasca 2016
Pindad, yang memproduksi senjata seperti senapan serbu, pistol, senapan sniper, dan senapan mesin, membantah perusahaan tersebut telah menjual senjata ke Myanmar pasca kudeta.
“Kami tidak menjual senjata ke Myanmar. Kalaupun kami melakukannya, itu terjadi pada tahun 2016 sebagai transaksi ekspor,” kata Sekretaris Korporasi PT Pindad, Dianing Puji Rahayu, kepada BenarNews.
“Kebetulan tahun 2016-2017 ada kompetisi AARM (ASEAN Armies Rifle Meet), jadi tidak ada hubungannya dengan situasi di Myanmar,” ujarnya.
“Apalagi kami tidak mendukung situasi pasca kudeta dan genosida yang dilaporkan terjadi di sana” tambah Dianing.
Pernyataan Dianing mengacu kepada kekerasan yang dilakukan militer terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta dan serangan terhadap minoritas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine yang memaksa sekitar 740.000 dari mereka mengungsi ke Bangladesh sejak Agustus 2017.
PT Dirgantara Indonesia yang berbasis di Bandung adalah pembuat pesawat terbang sedangkan PAL, yang berbasis di Surabaya, adalah pembuat kapal baik untuk keperluan militer ataupun sipil.
Seorang pejabat Dirgantara merujuk pertanyaan tersebut ke perusahaan induk industri pertahanan Defend ID, namun hingga berita ini diturunkan, BenarNews tidak mendapatkan respons dari industri itu.
Myanmar telah terjerumus ke dalam konflik kekerasan sejak militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi dan menahannya serta para pemimpin sipil lainnya pada 1 Februari 2021.
Junta menghadapi perlawanan luas dari pengunjuk rasa pro-demokrasi, gerakan pembangkangan sipil, kelompok etnis bersenjata, dan pemerintahan bayangan yang dibentuk oleh anggota parlemen yang digulingkan.
Junta telah merespons protes warga dengan kekerasan, menewaskan lebih dari 4.100 orang dan menangkap lebih dari 25.000 lainnya, menurut kelompok pemantau lokal.
PBB telah memperingatkan bahwa Myanmar berada di ambang bencana kemanusiaan di mana jutaan orang membutuhkan bantuan dan perlindungan.
Beberapa negara telah memberlakukan sanksi dan embargo senjata terhadap junta, namun pada saat yang sama, sejumlah negara lainnya terus memasok senjata atau memberikan dukungan diplomatik.
Indonesia – ketua ASEAN tahun ini di mana Myanmar adalah salah satu anggotanya, telah berupaya menengahi penyelesaian damai atas krisis di wilayah itu.
Pada saat dugaan penjualan tersebut terjadi, Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB dan mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang meminta semua negara untuk berhenti memasok senjata ke negara tersebut.
Chris Gunness, direktur Proyek Akuntabilitas Myanmar, mengatakan penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM Indonesia adalah “penting.”
“Penyelidikan kami telah menemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya standar ganda yang mengejutkan,” katanya dalam pernyataannya.
Pengaduan tersebut mendesak komisi untuk melakukan penilaian, penelitian dan investigasi terhadap dugaan keterlibatan perusahaan-perusahaan Indonesia dan merujuk kasus tersebut ke pengadilan hak asasi manusia jika terdapat cukup bukti adanya pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Anggota Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan pihaknya telah menerima pengaduan tersebut dan sedang mempelajarinya.
Lalu Muhammad Iqbal, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengatakan pihaknya menyelidiki masalah tersebut “karena melibatkan verifikasi dengan banyak pihak.”
Pizaro Gozali Idrus di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.