Tapaktuan – Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Fajar Selatan seyogyanya menjadi salah satu ujung tombak dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana sasaran utama pemerintahan Aceh Selatan dibawah kepemimpinan H Mirwan-Baital Mukadis (MANIS). Namun sangat disayangkan jika dilihat dari kinerja selama BUMD tersebut akan ibarat hidup segan mati tak mau, tanpa adanya langkah kongkret yang dapat langsung dilihat oleh masyarakat Aceh Selatan.
“Salah satu polemik yang selama ini mengemuka di publik yakni tidak berjalannya BUMD Fajar Selatan dikarenakan oleh 2(dua) hal, yakni pertama persoalan qanun/regulasi yang belum tuntas kemudian bicara penyertaan modal Daerah yang diharapkan manajemen BUMD belum bisa terpenuhi,” ungkap Koordinator Kaukus Pemuda Peduli Aceh Selatan (KP2AS), Rusydi, Sabtu 8 Mei 2025.
Menurut Rusydi, alasan tersebut tentunya tak logis, karena direksi BUMD itu sudah dilantik lebih 1 tahun lamanya, namun persoalan dasar seperti rancangan qanunnya saja belum tuntas. “Awalnya masyarakat mungkin berasumsi bahwa penyebab pembahasan rancangan qanun tersebut tak kunjung dibahas karena DPRK tidak berkenan, namun ternyata hingga saat ini draft rancangan qanun yang merupakan tersebut belum diserahkan dari eksekutif ke legislatif, sehingga menjadi tanda tanya publik ada apa dibalik semua ini? Apakah manajemen BUMD selama ini terlalu banyak lalai sehingga terjadi miss komunikasi dengan pihak pemkab Aceh Selatan atau memang manajemen BUMD tidak memiliki konsep dan langkah kongkret ingin dibawa kemana badan usaha plat merah tersebut,”sebutnya.
Rusydi menilai dengan pola kerja manajemen BUMD Fajar Selatan yang terkesan lambat loading tersebut maka untuk mewujudkan BUMD yang produktif akan sangat sulit terwujud. Seharusnya sejak dilantik pada januari 2024 hal-hal fundamental berupa dasar hukum seperti qanun sudah diselesaikan di tahun lalu, sehingga pada tahun ini sudah ada langkah-langkah kongkret BUMD untuk menjalankan usahanya. “Jika untuk persoalan rancangan qanun saja sudah lebih setahun belum juga, lalu bagaimana ingin mewujudkan holding BUMD sebagaimana yang diharapkan Bupati Aceh Selatan,” katanya.
Dia juga berharap BUMD tidak menjadi badan usaha yang bergantung full pada APBK seperti layaknya dinas atau SKPK, tapi harus mampu bergerak lebih produktif dengan berbagai inovasi tentunya dengan mempertimbangkan analisis swot. “Sebenarnya BUMD Fajar Harapan ini bukanlah badan usaha yang bergerak dari nol karena ada aset-aset yang menjadi modal dasar, tinggal lagi keinginan dan keseriusan, kemampuan dan inovasi yang dimiliki pihak manajemen dalam bergerak juga menjadi ukuran penting bagi berbagai pihak. Bagaimana mungkin pemerintah baik itu legislatif maupun eksekutif yakin melakukan penyertaan modal atau memberikan dukungan lainnya jika konsep usahanya seperti apa, back event point (BEP) dan return of investment (ROI) dari kegiatan usaha yang ingin dijalankan BUMD itu tak jelas hitungannya seperti apa. Ingin buat apa, cocok tidak? Balik modalnya itu berapa lama, dan bagaimana targetnya untuk PAD dan pertumbuhan ekonomi daerah, tentu seperti itu. Kita minta uang sama orang tua saja juga harus jelas untuk apa, apalagi sebuah BUMD minta penyertaan modal kepada Pemda, tentu harus jelas blue print nya seperti apa dan seterusnya. Jangan sampai inginnya disertakan modal sekian puluh milyar, sementara jalan atau tidak aktivitas kantor atau sekretariatnya saja tak jelas tata kelola, sehingga kesannya tidak profesional untuk sebuah badan usaha,” jelasnya.
Dia menyebutkan, BUMD Fajar Selatan sebagai salah satu harapan penguatan PAD dan pertumbuhan ekonomi juga semestinya menjadi badan usaha yang menampung produk hasil pertanian/perkebunan masyarakat kemudian menyediakan hilirasi dari hasil pertanian tersebut dan pemasaran produk tersebut, sehingga BUMD mampu menghadirkan peluang bisnis yang produktif untuk pengembangan usaha, mampu menghasilkan PAD sekaligus memberikan multi efek bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. “Tentunya sebelum menetapkan bisnis apa yang akan digeluti BUMD harus ada kajian kongkretnya terutama potensi apa yang ingin digarap, peluang bisnisnya seperti apa, hulu hingga hilirnya dan seperti apa. Bukan soal suka-suka dan ikut-ikutan belaka. Kalau semua nya kongkret dan terukur dan dikelola secara profesional tentu tak ada alasan bagi eksekutif dan legislatif Aceh Selatan menolak untuk kemajuan BUMD. Bahkan jika manajemen BUMD nya dianggap mampu, katakan saja pemkab sedang tidak baik-baik saja dalam segi fiskal, namun sah-sah saja Pemkab merekomendasikan pembiayaan usaha BUMD kepada lembaga perbankan misalkan, jadi tak semata-mata membebani full APBK,” cetusnya.
Dia memberi contoh, jika huluisasi di bidang perkebunan yang tepat dan potensial dikembangkan di Aceh Selatan serta ketersediaan komoditasnya adalah singkong misalkan, seyogyanya BUMD berfikir bagaimana menciptakan hilirasi dari singkong tersebut, apakah pengelolaan tepung tapioka, bio ethanol dan sebagainya lalu BUMD menjejaki akses penasaran produk tersebut dan menjalin kerjasama dengan pihak buyer. “Jangan pula potensi daerah A sesuai huluisasinya lalu BUMD menyediakan hilirisasi untuk komoditas Z karena suatu angan-angan tertentu, sehingga dampaknya nanti justru kebutuhan produksi terhambat, perputaran bisnis tak berjalan dan modal yang disertakan pemerintah jadi sia-sia. Jadi, sebenarnya peluangnya ada dan sangat besar, tinggal lagi kesiapan dan keseriusan direksi/ manajemen BUMD juga sangat penting jika tidak jangankan untuk wacana holding BUMD, bahkan untuk satu sektor usaha saja akan sulit dikembangkan. Apalagi jika masih ada niat menjadikan BUMD sebagai badan usaha yang hanya mampu menyusui dari APBK, dikhawatirkan nanti nya BUMD yang diharapkan menjadi penunjang PAD malah menjadi beban baru fiskal daerah,” bebernya.
Masih kata Rusydi, memang semestinya manajemen pengelolaan BUMD ini jika serius sangat dimungkinkan untuk holding. Katakan saja ada anak perusahaan BUMD yang bergerak dibidang pertanian/perkebunan, ada anak perusahaan yang bergerak dibidang perikanan, lembaga keuangan mikro, pertambangan, bahkan pengolahan daur ulang sampah organik dan an organik atau berbagai sektor lainnya yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah. “Namun lagi-lagi semua itu tidak akan terwujud jika seandainya semangat awal manajemen BUMD nya hanya sebatas menyedot APBK tanpa adanya keinginan kuat untuk membawa BUMD tersebut ke arah yang lebih maju dan produktif,”ucapnya.
Rusydi mengatakan, Bupati Aceh Selatan sebagai seorang pengusaha sukses di perantauan tentunya paham betul bagaimana semestinya sebuah badan usaha, apalagi ini BUMD. Sebagai pemimpin yang merindukan perubahan dan kemajuan daerahnya, Bupati Aceh Selatan diyakini tak bakal mudah dibuat dengan angin segar hingga dalil-dalil tak logis soal perkembangan BUMD akhir-akhir ini. “Jujur,kita justru khawatir kecepatan Bupati dalam bergerak tak mampu diikuti oleh kinerja lambat loading yang terlihat dari BUMD Fajar Selatan selama ini, sehingga Bupati Aceh Selatan diharapkan dapat segera mengambil kebijakan kongkret demi kemajuan BUMD kebanggaan Aceh Selatan itu. Kita berharap itikad baik Bupati Aceh Selatan untuk memajukan BUMD, meningkatkan PAD dan pertumbuhan ekonomi tidak bertepuk sebelah tangan hanya karena kinerja perangkat di bawahnya lambat loading,” pungkasnya.