BARANEWS – Wacana seputar kewajiban verifikasi media oleh Dewan Pers kembali menuai kritik tajam. Kali ini, sorotan datang dari Wilson Lalengke, tokoh pers nasional yang juga Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI). Dalam berbagai kesempatan, Wilson menyebut praktik verifikasi media oleh Dewan Pers sebagai bentuk “pembodohan publik yang dilembagakan.”
Pernyataan ini tidak muncul tanpa dasar. Wilson merujuk langsung pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 15, yang menurutnya tidak memberi mandat kepada Dewan Pers untuk memverifikasi atau mengatur legalitas media di luar lingkup internalnya.
“Berdasarkan UU Pers, Dewan Pers hanya bertugas mendorong kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Tidak ada satu pun ayat yang memberi mereka kewenangan untuk memverifikasi media secara nasional, apalagi dijadikan alat pembatas akses informasi,” tegas Wilson.
Kritik semakin tajam saat sejumlah pemerintah daerah, kementerian, hingga institusi penegak hukum menggunakan status verifikasi Dewan Pers sebagai syarat kerjasama atau akses liputan. Media yang belum terverifikasi tak jarang diperlakukan diskriminatif, tidak diundang konferensi pers, bahkan diintimidasi saat melakukan peliputan.
“Saya menyebut ini sebagai bentuk pembodohan publik yang dilembagakan, karena publik dipaksa percaya bahwa hanya media yang diverifikasi Dewan Pers yang sah. Padahal, secara hukum, semua media yang berbadan hukum dan menjalankan fungsi jurnalistik dilindungi UU Pers,” lanjut Wilson.
Dewan Pers mengklaim bahwa verifikasi bertujuan menjaga standar profesionalisme dan integritas jurnalistik. Namun menurut Wilson, alasan ini justru membuka peluang terjadinya monopoli kewenangan di bidang pers. Bahkan, pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar di bawah otoritas Dewan Pers juga dinilai cacat hukum.
“Semua uji kompetensi profesi diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan harus berada di bawah pengawasan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Jadi, UKW oleh Dewan Pers itu ilegal secara sistem sertifikasi nasional,” jelasnya.
Pandangan Wilson juga selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi media atau wartawan untuk bergabung ke organisasi pers atau harus terverifikasi Dewan Pers.
Putusan ini menjadi landasan hukum penting bahwa kerja jurnalistik tidak boleh dibatasi oleh keanggotaan organisasi atau status verifikasi, selama media menjalankan tugasnya sesuai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Sejumlah kasus menunjukkan bahwa wartawan dari media tidak terverifikasi kerap menjadi korban kriminalisasi dengan menggunakan pasal karet seperti pencemaran nama baik. Perlindungan terhadap kerja jurnalistik menjadi relatif, tergantung apakah media tempatnya bekerja dianggap sah atau tidak.
“Kalau negara tunduk pada lembaga non-pemerintah seperti Dewan Pers, ini jadi lucu. Pemerintah dan institusi hukum justru harus melindungi semua jurnalis, bukan hanya yang sudah disertifikasi oleh kelompok tertentu,” kata Wilson.
Polemik ini seharusnya menjadi momentum untuk meninjau kembali peran dan kewenangan Dewan Pers secara proporsional. Negara tidak boleh membiarkan terbentuknya oligarki pers yang membungkam media independen dan membatasi kebebasan berekspresi.
“Ini bukan lagi sekadar perdebatan hukum. Ini tentang melawan pembodohan publik yang dilembagakan atas nama profesionalisme, yang sebenarnya justru membungkam keragaman suara dan kritik,” pungkas Wilson Lalengke.
Dalam konteks hukum dan regulasi nasional, penting ditegaskan kembali bahwa media tidak wajib terverifikasi oleh Dewan Pers untuk dapat menjalankan kegiatan jurnalistik. Namun, verifikasi Dewan Pers memang memiliki nilai penting dalam konteks standar profesionalisme dan perlindungan hukum.
Pertama, tidak ada kewajiban hukum yang mengharuskan verifikasi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak memuat ketentuan bahwa media harus diverifikasi oleh Dewan Pers. Artinya, media tetap sah beroperasi dan memproduksi berita selama mematuhi ketentuan UU Pers dan menjalankan prinsip-prinsip kode etik jurnalistik.
Kedua, verifikasi adalah bentuk standarisasi, bukan syarat legalitas. Proses ini bertujuan untuk menilai apakah sebuah media memiliki badan hukum yang jelas, struktur redaksi yang profesional, serta komitmen terhadap kode etik. Namun, ini bersifat pilihan. Media tanpa verifikasi tetap sah menurut hukum, selama memenuhi unsur pers sebagaimana diatur undang-undang.
Ketiga, verifikasi memberi perlindungan hukum tambahan bagi jurnalis dan media. Media yang terverifikasi lebih mudah mendapatkan perlindungan dan penyelesaian sengketa melalui Dewan Pers. Akan tetapi, media non-terverifikasi pun tetap mendapat hak perlindungan jika ia menjalankan kerja jurnalistik sesuai aturan.
Keempat, ada risiko ketika media tidak terverifikasi, terutama dari institusi yang tidak memahami hukum pers. Banyak aparat atau lembaga hanya menerima media terverifikasi, sehingga membuka ruang diskriminasi. Dalam kondisi tertentu, jurnalis dari media non-terverifikasi juga lebih rentan dikriminalisasi dengan pasal pidana umum, seperti pencemaran nama baik.
Kelima, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XI/2013 secara tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban hukum bagi media atau wartawan untuk bergabung ke organisasi manapun atau harus terverifikasi oleh Dewan Pers.
Kesimpulannya, tidak ada dasar hukum yang mewajibkan media untuk terverifikasi oleh Dewan Pers. Yang paling penting adalah media bekerja secara profesional, menjunjung tinggi prinsip keadilan, keseimbangan, dan tidak menyebarkan kebohongan. Verifikasi hanyalah opsi, bukan syarat sah berdirinya media. Maka, jika negara atau institusi tetap menjadikan verifikasi sebagai syarat mutlak, hal itu bukan hanya kekeliruan administratif, melainkan bagian dari pembodohan publik yang sistematis.
—