Banda Aceh – Sebagai Pj. Presiden Mahasiswa Universitas Serambi Mekkah, saya, Muhsin, merasa perlu menyuarakan kekecewaan dan keprihatinan mendalam atas apa yang kami alami saat menyalurkan bantuan untuk korban banjir bandang dan longsor di Aceh Tamiang pada Selasa, 9 Desember 2025. Dalam kondisi darurat seperti ini, seharusnya nilai kemanusiaan, solidaritas, dan kecepatan respon menjadi prioritas utama, tetapi fakta di lapangan justru jauh dari harapan.
Dengan seluruh akses jembatan terputus, satu-satunya jalur menuju lokasi adalah penyeberangan sungai di Kuta Blang, Bireuen. Ironisnya, kami justru dikenakan tarif penyeberangan boat yang sangat tidak wajar. Pengangkutan barang bantuan dipatok Rp1,5 juta hingga Rp2 juta sekali angkut. Angka ini jelas tidak mencerminkan sikap gotong royong di tengah keadaan darurat. Praktik seperti ini bukan hanya menghambat distribusi bantuan, tetapi juga menciderai nilai kemanusiaan itu sendiri.
Yang tak kalah memprihatinkan, mobilisasi darurat dari pemerintah sebenarnya sudah ada, tetapi praktiknya seperti “tidak ada” karena tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Fasilitas itu tidak berfungsi optimal, sehingga relawan tetap harus mengandalkan layanan swasta dengan tarif selangit. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi dan ketidaksiapan pemerintah dalam menangani situasi krisis yang membutuhkan tindakan cepat dan nyata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih jauh lagi, pembangunan jembatan darurat yang dijanjikan hingga hari ini belum juga rampung, padahal sudah 14 hari sejak akses utama putus. Ketidakmampuan menyelesaikan jembatan sementara dalam waktu wajar membuat publik bertanya-tanya: apakah pemerintah benar-benar serius menangani bencana ini? Jembatan Kuta Blang bukan sekadar jembatan lokal, ini adalah akses vital jalan nasional lintas Aceh–Sumatra, jalur penting bagi mobilitas masyarakat, distribusi logistik, dan roda ekonomi.
Lambannya pembangunan jembatan serta tidak berfungsinya mobilisasi darurat membuat beban masyarakat dan relawan semakin berat. Saat warga sedang berjuang bertahan dan relawan memaksa diri menembus lokasi terdampak, respons pemerintah yang tidak sigap hanya memperparah keadaan.
Melalui pernyataan ini, saya mendesak pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk bertindak cepat dan tegas. Optimalisasi mobilisasi darurat, pengawasan ketat di lapangan, pengaturan tarif kemanusiaan, serta percepatan pembangunan jembatan darurat harus menjadi prioritas tanpa pengecualian. Situasi bencana bukan ruang untuk mengambil keuntungan dan bukan tempat untuk bekerja setengah hati.
Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, kami menegaskan bahwa kemanusiaan harus selalu ditempatkan di posisi tertinggi. Semoga peristiwa ini menjadi pelajaran penting agar penanganan bencana di Aceh ke depan lebih cepat, lebih serius, dan lebih manusiawi. (*)
Penulis : Muhsin (Pj. Presma USM Aceh)


































