JAKARTA – Dalam sejarah panjang konflik batas wilayah di Indonesia, jarang ada perkara yang menyita perhatian publik seperti sengketa empat pulau kecil antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—empat titik daratan kecil di tengah birunya laut barat Sumatera—tiba-tiba menjadi medan tarik-menarik politik, ekonomi, hingga diplomasi tingkat tinggi.
Kisahnya bukan semata tentang batas peta yang kabur atau kekeliruan administrasi. Ia menyentuh akar soal harga diri daerah, potensi kekayaan maritim, dan—yang baru terkuak belakangan—lobi investor asing yang mengendus peluang emas di sudut terpencil republik ini.
Ketegangan memuncak pada awal 2025, ketika masyarakat Aceh dikejutkan oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri yang menyatakan keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Keputusan itu mengejutkan banyak pihak karena secara historis, geografis, dan sosial-budaya, keempat pulau lebih dekat dengan Kabupaten Aceh Singkil. Selama puluhan tahun, warga nelayan Aceh beraktivitas di sana, dan Pemerintah Aceh mengklaim telah menyertakan wilayah tersebut dalam dokumen rencana tata ruang dan pembangunan daerah.
Namun, keputusan tersebut terbit justru di masa jabatan Bobby Nasution sebagai Gubernur Sumatera Utara—tokoh politik muda yang juga menantu Presiden Joko Widodo. Sontak publik berspekulasi: apakah ini hanya soal batas wilayah biasa, atau ada ‘tangan-tangan lain’ yang bermain di belakang layar?
Protes pun bermunculan. Tokoh-tokoh adat, mahasiswa, bahkan Pj Gubernur Aceh Muzakir Manaf sendiri, secara tegas menyatakan keberatan. “Kami tidak akan pernah menyerahkan sejengkal pun tanah Aceh kepada siapa pun,” kata Muzakir dalam sebuah rapat koordinasi di Banda Aceh. Bahkan beberapa unjuk rasa sempat dilakukan di depan kantor Kemendagri di Jakarta.
Tawaran dari Bobby Nasution untuk “mengelola bersama” wilayah tersebut ditolak mentah-mentah. Pemerintah Aceh menilai hal itu sebagai bentuk kompromi yang melemahkan posisi hukum dan historis mereka.
Lalu, situasi makin panas ketika dalam sebuah diskusi publik yang dilansir kanal YouTube Rakyat Bersuara (tautan video), analis kebijakan publik Muhammad Said Didu mengungkap bahwa konflik ini tidak bisa dilepaskan dari minat investasi besar-besaran yang telah lama mengintai gugusan pulau itu.
Menurutnya, sejak tahun 2016, ada investor dari Timur Tengah, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), yang menunjukkan ketertarikan membangun resor wisata supermewah di wilayah barat Sumatera. Pulau-pulau terpencil yang belum tersentuh pembangunan dianggap cocok untuk dijadikan destinasi eksklusif bagi para miliarder internasional. “Saya sendiri pernah dilibatkan untuk memfasilitasi pembelian pulau saat itu,” ungkapnya.
Sinyal yang sama datang dari Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam pernyataan resminya, ia mengakui bahwa Putra Mahkota UEA, Mohamed bin Zayed (MBZ), telah menyatakan niat investasi, bahkan sudah ada letter of intent yang diteken bersama pemerintah Aceh. “Tinggal menunggu kesiapan infrastruktur dan kepastian hukum wilayah saja,” kata Luhut.
Konteks inilah yang mengubah wajah sengketa empat pulau menjadi persoalan geopolitik dan ekonomi besar. Kepemilikan wilayah ternyata tidak hanya soal batas administrasi, melainkan tentang siapa yang mengontrol akses terhadap sumber daya dan investasi miliaran dolar di masa depan.
Puncaknya terjadi pada 17 Juni 2025. Presiden Prabowo Subianto memanggil Pj Gubernur Aceh dan Sumut ke Istana Negara. Di hadapan mereka dan disaksikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Presiden menetapkan bahwa keempat pulau tersebut secara resmi masuk ke dalam Provinsi Aceh. “Ini keputusan final. Kita butuh stabilitas, bukan konflik horizontal antar daerah,” tegas Prabowo.
Bobby Nasution tak banyak berkomentar. Dalam pertemuan itu, ia hanya menyatakan siap menghormati keputusan pusat dan berharap agar proses transisi administrasi dilakukan tanpa konflik sosial.
Dengan tuntasnya konflik ini, kini Aceh memegang kendali penuh atas wilayah yang secara ekonomi sangat menjanjikan. Pulau Lipan dan Mangkir Gadang disebut-sebut menyimpan potensi perikanan tangkap dan wisata bahari yang luar biasa. Sementara Pulau Panjang dan Mangkir Ketek cocok dijadikan zona konservasi laut atau tempat resor berstandar internasional.
Namun, keberhasilan ini juga membawa tanggung jawab besar. Pemerintah Aceh dihadapkan pada tugas menjaga wilayah tersebut dari eksploitasi tak bertanggung jawab. Dengan sorotan publik nasional yang begitu besar, Aceh harus membuktikan bahwa wilayah yang dipertahankan dengan perjuangan itu benar-benar dikelola demi kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk segelintir elit atau kongsi investor.
Kini, setelah puluhan tahun ambigu, batas wilayah sudah dipastikan. Namun, pelajaran terbesar dari kisah ini mungkin bukan pada siapa yang menang, tetapi pada bagaimana wilayah kecil bisa menjadi arena perebutan kekuasaan besar, dan mengapa integritas serta keberanian bersuara tetap jadi senjata utama daerah dalam mempertahankan haknya. (RED(