Banda Aceh | Proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA), broncaptering, dan sumur dalam terlindungi di Kampung Kuti Robel, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, yang didanai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran 2024, disinyalir mengalami keterlambatan serius bahkan terancam mangkrak. Pagu anggaran proyek ini mencapai Rp2.941.995.159,93, namun hingga akhir tahun anggaran 2024, pekerjaan tidak juga rampung.
Ironisnya, berdasarkan penelusuran dan laporan masyarakat, hingga Maret 2025 proyek ini tetap belum menunjukkan penyelesaian. Kondisi tersebut secara langsung berdampak terhadap akses masyarakat terhadap air bersih yang seharusnya dapat terpenuhi melalui proyek tersebut.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh, Mahmud Padang, dalam keterangannya pada Kamis, 26 Juni 2025, menegaskan bahwa proyek yang tak selesai tepat waktu melanggar ketentuan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Dalam pasal 79 ayat 4 disebutkan, apabila pekerjaan tidak selesai dalam batas waktu kontrak, maka penyedia jasa wajib dikenakan denda keterlambatan sebesar satu per mil (1/1000) dari nilai kontrak per hari.
“Berdasarkan informasi dari LPSE Kabupaten Aceh Tengah, nilai kontrak proyek ini sebesar Rp2.912.510.000. Maka seharusnya pihak pelaksana, dalam hal ini CV. Enyayo Noor Co, dikenai denda keterlambatan sebesar Rp2.912.510 per hari terhitung sejak berakhirnya kontrak di tahun 2024,” ungkap Mahmud.
Mahmud menambahkan bahwa jika proyek tersebut telah diberikan perpanjangan waktu namun tetap tidak diselesaikan, maka kontraktor pelaksana harus dimasukkan dalam daftar hitam atau blacklist, sebagaimana diatur dalam Perpres 16 Tahun 2018. Hal ini penting agar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di proyek-proyek lainnya.
Selain soal keterlambatan, muncul pula keluhan dari warga mengenai buruknya mutu pekerjaan di lapangan. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa proyek yang berada di bawah tanggung jawab Dinas Perumahan dan Permukiman Kabupaten Aceh Tengah itu memiliki kualitas pengerjaan yang jauh dari standar, menimbulkan kecurigaan terhadap dugaan pelanggaran spesifikasi teknis.
Alamp Aksi meminta Aparat Penegak Hukum (APH), seperti Kepolisian dan Kejaksaan, untuk turun tangan menyelidiki potensi pelanggaran hukum dalam proyek ini. “Kami menuntut agar APH memastikan bahwa denda keterlambatan benar-benar dikenakan sesuai ketentuan. Jangan hanya berhenti di atas kertas. Selain itu, kualitas proyek juga harus diaudit secara teknis oleh pihak independen. Jika ditemukan pelanggaran spesifikasi, maka harus ada pertanggungjawaban hukum,” tegas Mahmud.
Ia menekankan bahwa proyek pemerintah bukan hanya soal menyerap anggaran, tetapi harus benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat. “Kalau proyek mangkrak dan kualitasnya rendah, masyarakat yang paling dirugikan. Air bersih adalah kebutuhan dasar. Ketika proyek ini gagal, maka pemerintah daerah juga gagal menjalankan fungsinya secara optimal,” tambahnya.
Sampai berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari Dinas Perkim Aceh Tengah terkait penyebab keterlambatan maupun langkah koreksi yang dilakukan. Sementara itu, masyarakat Kampung Kuti Robel terus menanti kejelasan nasib proyek yang seharusnya menopang kehidupan mereka, terutama dalam hal akses air bersih. (*)