EDITORIAL
SUBULUSSALAM | Kasus kematian ikan massal di Sungai Lae Batu-Batu, Kota Subulussalam, yang terjadi sejak awal Mei 2025 hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar. Fenomena ini bukan sekadar persoalan ekologis biasa, melainkan juga menjadi cermin nyata atas permasalahan tata kelola lingkungan dan kualitas pelayanan publik oleh lembaga pemerintah yang berwenang. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Subulussalam sebagai institusi yang memegang peran strategis dalam pengawasan lingkungan hidup, sejatinya harus mampu bertindak cepat, tepat, dan transparan untuk mengatasi masalah ini.
Namun, realitas yang terungkap justru menunjukkan ketidaksiapan dan kelalaian dalam penanganan kasus ini. Proses pengujian sampel air dan bangkai ikan yang dilakukan oleh DLHK dinilai tidak memenuhi prosedur standar. Pengiriman sampel yang dilakukan tanpa pendampingan petugas, tanpa surat pengantar resmi, dan dikirim melalui jalur transportasi umum seperti travel, menunjukkan lemahnya manajemen pengujian laboratorium yang seharusnya menjadi fondasi kepercayaan publik. Lebih mengejutkan lagi, laporan dari Laboratorium Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala (USK) menyatakan tidak dapat melakukan uji residu pestisida karena kekurangan bahan kimia selama lebih dari 20 hari pasca pengambilan sampel. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai profesionalisme DLHK dalam menjaga kredibilitas hasil pengujian dan keselamatan masyarakat.
Ketidakpastian data hasil uji laboratorium, ditambah dengan hasil telaah DLHK yang menyatakan air sungai dalam kondisi baik dan tidak tercemar, bertolak belakang dengan fakta di lapangan dimana kematian ikan masih terus terjadi. Hal ini menyebabkan keresahan yang mendalam di kalangan masyarakat nelayan dan warga sekitar yang sangat bergantung pada ekosistem sungai sebagai sumber penghidupan. Jika air sungai benar-benar dalam kondisi baik, lalu apa penyebab kematian ikan secara massal? Ketidakjelasan ini memperparah ketidakpercayaan publik terhadap institusi pemerintahan.
Penting untuk diingat bahwa pengelolaan lingkungan hidup bukan sekadar soal memenuhi parameter baku mutu berdasarkan regulasi, melainkan sebuah tanggung jawab moral dan sosial yang melekat pada pemerintah untuk melindungi hak-hak warga negara. Dalam konteks ini, pemerintah kota harus mampu menghadirkan data yang akurat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan agar publik tidak menjadi korban dari informasi yang ambigu dan potensi manipulasi data.
Masyarakat berhak menuntut keterbukaan informasi dan pelibatan pihak independen yang kredibel dalam pengujian dan evaluasi kualitas lingkungan. Langkah ini penting agar tidak muncul prasangka negatif yang dapat memperkeruh situasi dan menimbulkan konflik sosial. Selain itu, pelibatan lembaga independen juga berfungsi sebagai kontrol atas potensi penyimpangan prosedur yang berpotensi merugikan publik.
Penonaktifan sementara pejabat yang bertanggung jawab di DLHK, khususnya Kepala Dinas dan Kepala Bidang, menjadi langkah strategis yang layak dipertimbangkan demi memberikan ruang bagi investigasi yang lebih objektif dan profesional. Hal ini juga menjadi sinyal tegas bahwa pemerintah serius menanggapi keresahan masyarakat dan siap melakukan perbaikan demi terjaganya kepercayaan publik.
Kasus ini juga membuka mata kita semua akan pentingnya penguatan sistem pengawasan lingkungan yang melibatkan berbagai unsur, termasuk aparat penegak hukum, akademisi, dan tentu saja masyarakat itu sendiri. Pendidikan lingkungan yang terus menerus dan partisipasi aktif warga menjadi kunci utama dalam menjaga kelestarian alam sekaligus menciptakan budaya transparansi dan akuntabilitas.
Tidak kalah penting, pemerintah harus meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan sarana prasarana laboratorium yang memadai agar proses pengujian dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan akurat. Hal ini agar kejadian serupa tidak terulang dan dapat mencegah dampak buruk terhadap kesehatan dan ekonomi masyarakat.
Pengelolaan lingkungan hidup yang baik adalah bagian dari tanggung jawab negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dan pembangunan berkelanjutan. Sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, Subulussalam memiliki peluang besar untuk menjadi contoh daerah yang berhasil menjaga kelestarian lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan warganya. Namun hal itu hanya bisa terwujud jika ada komitmen kuat, transparansi, dan kerja sama semua pihak dalam mengelola lingkungan dengan baik.
Semoga insiden Sungai Lae Batu-Batu ini menjadi momentum penting bagi pemerintah dan masyarakat Subulussalam untuk introspeksi dan memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan hidup yang ada. Hanya dengan pendekatan yang bertanggung jawab dan profesional, kita bisa memastikan bahwa sumber daya alam tidak hanya dinikmati hari ini, tetapi juga terjaga kelestariannya untuk generasi mendatang.
Pemerintah Kota Subulussalam harus mengambil langkah tegas dan konkret sebagai wujud komitmen mereka dalam menjalankan amanah publik. Kepercayaan masyarakat merupakan modal utama dalam menjaga stabilitas sosial dan kelangsungan pembangunan daerah. Kegagalan menjaga kepercayaan ini sama artinya dengan merusak fondasi demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Kita semua berharap agar pengelolaan lingkungan hidup di Subulussalam segera membaik, agar tidak ada lagi keraguan, kecurigaan, dan ketakutan di hati masyarakat. Sebab, lingkungan yang sehat adalah hak seluruh warga negara yang harus dijaga bersama. (*)