ACEH SELATAN — Rencana Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem, untuk menutup seluruh aktivitas tambang emas ilegal dalam dua pekan mendatang mendapat penolakan dari para penambang tradisional di Aceh Selatan. Kebijakan tersebut dinilai tergesa-gesa dan tidak mempertimbangkan nasib masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari hasil tambang.
Rizal (42), seorang penambang emas di kawasan pedalaman Aceh Selatan, menilai ribuan warga terancam kehilangan mata pencaharian jika keputusan itu diterapkan tanpa solusi alternatif.
“Kalau tambang emas ditutup tanpa solusi, bagaimana kami bisa makan. Banyak keluarga di sini hanya bergantung pada hasil tambang. Kami bukan mafia, kami rakyat kecil,” kata Rizal, Sabtu (27/9/2025).
Rizal mendesak pemerintah untuk segera menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai jalan tengah. Menurutnya, legalisasi tambang rakyat akan memberikan kepastian hukum, mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan, serta membuka peluang bagi pendapatan resmi daerah.
“Kami setuju dengan penertiban, tapi jangan diberangus. Kalau ada WPR, semua bisa diatur, diawasi, dan dipajaki,” ujarnya.
Ia mengkhawatirkan penutupan tambang tanpa pendekatan sosial akan memicu ketegangan horizontal di masyarakat serta memperparah kemiskinan di wilayah-wilayah pelosok.
“Jangan sampai keputusan ini hanya menguntungkan segelintir perusahaan besar,” tegasnya.
Sebelumnya, Gubernur Aceh menyampaikan bahwa tambang ilegal telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang luas, terutama terhadap kawasan hutan dan sungai. Kerugian daerah diperkirakan mencapai Rp 2 triliun per tahun akibat aktivitas ilegal tersebut.
“Semua aktivitas ilegal harus keluar dari hutan Aceh,” ujar Mualem dalam pernyataannya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah saat ini tengah menyiapkan regulasi yang memungkinkan pengelolaan tambang secara sah oleh masyarakat serta pelaku usaha kecil menengah. Kebijakan tersebut, menurutnya, bertujuan menekan laju kerusakan lingkungan sekaligus menciptakan sistem pertambangan yang tertib dan berkelanjutan.
Penolakan dari penambang rakyat di Aceh Selatan kini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah kabupaten yang berada di antara kewajiban menjalankan instruksi gubernur dan tuntutan warga untuk tetap bisa bertahan dari sektor pertambangan.
Langkah pemerintah selanjutnya—termasuk penetapan WPR dan regulasi pendukung—akan menjadi penentu arah pengelolaan tambang rakyat di Aceh ke depan.