Tapaktuan – Aksi pemblokiran jalan yang dilakukan oleh warga di Simpang Tiga Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan, Jumat (18/7/2025), menjadi simbol kuat ketidakpuasan masyarakat terhadap aktivitas operasional PT PSU, perusahaan tambang bijih besi yang beroperasi di wilayah tersebut. Warga menilai aktivitas pengangkutan material tambang oleh perusahaan yang memanfaatkan jalan daerah dari Simpang Tiga Kluet Tengah ke Paya Ateuk, Kecamatan Pasie Raja, telah menyebabkan kerugian bagi masyarakat dan merusak infrastruktur daerah.
Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA), Fadhli Irman, menyampaikan bahwa sejak awal kehadirannya, PT PSU tidak menunjukkan kontribusi nyata terhadap kemajuan daerah. Ia menyoroti tidak adanya pendapatan untuk kas daerah melalui PAD, serta minimnya tanggung jawab sosial dan lingkungan atau CSR yang seharusnya dijalankan oleh perusahaan.
Fadhli mengungkapkan bahwa konflik antara masyarakat dan perusahaan bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, pada 1 Mei 2025, masyarakat sempat melakukan perlawanan terhadap keberadaan perusahaan dengan merusak kawasan operasional PT PSU dan koperasi yang terafiliasi, KSU Tiega Manggis. Puncaknya, pada aksi terbaru, masyarakat kembali turun ke jalan, dipimpin oleh kalangan ibu-ibu, dan memblokir akses utama yang digunakan perusahaan, sebagai bentuk kekecewaan mendalam terhadap dampak buruk yang ditimbulkan.
Mengacu pada Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 junto Qanun Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pemerintah Kabupaten memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap izin usaha pertambangan (IUP) yang dimiliki perusahaan. Oleh sebab itu, GerPALA secara tegas mendesak Bupati Aceh Selatan untuk segera mengevaluasi kinerja dan kepatuhan PT PSU terhadap regulasi dan kewajiban yang berlaku.
Fadhli menekankan bahwa jika hasil evaluasi menunjukkan adanya pelanggaran terhadap standar operasional maupun peraturan lingkungan, maka Pemkab Aceh Selatan harus segera mengajukan rekomendasi pencabutan izin kepada pemerintah provinsi atau pemerintah pusat. Menurutnya, pemerintah tidak boleh membiarkan perusahaan yang tidak memberikan manfaat nyata namun justru merugikan masyarakat dan merusak lingkungan tetap beroperasi.
Ia juga menekankan pentingnya evaluasi terhadap dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT PSU, mengingat banyaknya laporan dari masyarakat mengenai pencemaran dan kerusakan ekosistem yang diduga berasal dari aktivitas pertambangan perusahaan. Fadhli menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa perusahaan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan hanya mengeksploitasi sumber daya alam tanpa tanggung jawab, seharusnya tidak diberi tempat di Aceh Selatan. (*)