Tapaktuan- Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA) mengecam keras keputusan Pemerintah Aceh membatalkan tender lanjutan pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away (RSUD-YA) Tapaktuan dengan pagu anggaran Rp15,9 miliar. Keputusan itu, menurut GerPALA, tidak hanya melukai akal sehat publik, tetapi juga menunjukkan buruknya tata kelola anggaran di bawah kendali Sekretaris Daerah Aceh selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA).
Koordinator GerPALA, Fadhli Irman menilai alasan “sisa waktu efektif tidak mencukupi” yang tercantum dalam pengumuman LPSE sebagai dalih lemah yang memperlihatkan kegagalan sistemik. “APBA disahkan sejak lama, Rencana Umum Pengadaan (RUP) sudah bisa disusun sejak awal tahun. Jika baru di bulan September Pemerintah Aceh menyadari bahwa waktu tidak cukup, itu bukan masalah teknis, melainkan kelalaian fatal. Yang dirugikan bukan birokrasi, melainkan rakyat yang kehilangan hak atas layanan kesehatan,” tegas Fadhli Irman, Jum’at 19 September 2025.
Dia mengingatkan, RSUD-YA bukan sekadar rumah sakit kabupaten, melainkan rumah sakit rujukan regional bagi kawasan Barat-Selatan Aceh. Penundaan pembangunan berarti pasien dari Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, hingga Subulussalam harus menempuh perjalanan jauh ke Banda Aceh. “Setiap jarak tambahan adalah risiko tambahan. Jangan sepelekan fakta bahwa keterlambatan pembangunan rumah sakit sama dengan menunda keselamatan manusia,” ujar Irman.
Secara regulasi, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 yang mengubah Perpres 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mewajibkan pembatalan tender dilakukan dengan alasan objektif, dokumentasi resmi, dan keterbukaan penuh. Sementara Permendagri Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menempatkan tanggung jawab langsung pada pejabat pengguna anggaran untuk memastikan program prioritas berjalan sesuai jadwal. Fakta pembatalan tender tanpa penjelasan substantif hanya menegaskan rapuhnya akuntabilitas Pemerintah Aceh.
Kata Irman, dalam literatur tata kelola pengadaan, fenomena itu kerap dikaitkan dengan indikasi bid rigging atau pengaturan pemenang. Pembatalan tender besar tanpa penjelasan rinci hanya memperkuat dugaan bahwa ada praktik tak sehat yang hendak ditutup-tutupi.
Irman menyebutkan, keterlambatan pembangunan infrastruktur kesehatan menimbulkan biaya sosial yang jauh lebih besar dibanding nilai proyeknya. Biaya keluarga pasien meningkat, angka kematian tak terduga bertambah, dan pelayanan publik lumpuh. “Inilah biaya nyata yang harus ditanggung rakyat akibat buruknya kinerja birokrasi di Pemerintah Aceh,”ucapnya.
GerPALA menuntut Pemerintah Aceh, khususnya Sekda Aceh, segera membuka dokumen lengkap terkait pembatalan tender, mulai dari RUP, RKS, HPS, hingga berita acara evaluasi. GerPALA juga meminta Inspektorat dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) melakukan audit investigatif. Bila ditemukan maladministrasi atau indikasi persekongkolan, aparat penegak hukum wajib mengambil tindakan tegas.
“Sekda Aceh tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan administratif. Jangan anak tirikan wilayah Barat-Selatan, termasuk Aceh Selatan, hanya karena buruknya manajemen anggaran di tingkat Pemerintah Aceh. Perlu diingat bahwa layanan kesehatan adalah hak dasar, bukan komoditas politik,” ujarnya mengaku geram.
GerPALA menegaskan, Mualem sebagai Gubernur Aceh jangan terus menerus diam. Jangan sampai ketika Pilkada Mualem-Dekfadh butuh suara rakyat dari wilayah Barat Selatan, begitu jadi pemimpin Aceh justru Barat Selatan dianaktirikan.“Aceh Selatan bukan daerah pinggiran yang boleh ditinggalkan. Jika Pemerintah Aceh sungguh berpihak pada rakyat tanpa membeda-bedakan wilayah, buktikan dengan tindakan nyata, bukan dengan alasan tidak cukup waktu yang terpajang di LPSE. Jika Pemerintah Aceh memang tak berniat untuk membangun maksimal wilayah Barat Selatan maka masukkan saja dalam revisi UUPA terkait pemekaran wilayah Barsela, biar jangan terus-terusan dianaktirikan,” pungkasnya.