Oleh : Turham AG, S. Ag., M.Pd
Dosen IAIN Takengon/Maestro Bahasa dan Budaya Gayo
Perkawinan dalam adat Gayo memiliki runtun rukun (urutan) yang telah ditetapkan dan serat dengan makna pada setiap urutan proses yang harus dilalui tahap demi tahap, namun deawasa ini banyak runtun rukun yang tidak terlaksana lagi sebagaimana sedia kala termasuk pembawaan baik ketika mah bai (mengantar calon aman mayak/pengantin laki-laki) ketempat calon inen mayak (pengantin perempuan) untuk dinikahkan maupun saat munentong batang ruang (mengantar pengantin ke tempat aman mayak).
Menurut informasi yang diperoleh secara cerak-cerak kucak dengan beberapa tokoh adat Gayo, tidak terlaksananya runtun rukun tersebut disebabkan ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman masyarakat terutama pemangku adat dalam kampung tentang makna adat dalam mungerje. Hal ini bila dibiarkan terus menerus akan dianggap generasi muda sebagai adat, untuk itu sangat diperlukan kajian dan pembahasan tentang adat mungerje agar tidak multi tafsir oleh masing-masing pihak.
Proses mungerje diawali dari adanya petemun (jodoh) baik secara i turuhen (dijodohkan) dalam istilah berakah i doyah sene i telege maupun biak dirie (kenalan sendiri) yang dalam istilahnya sene bubak sene bube, sene ni kekanak sawah ku tetue. Sementara runtun rukun berawal dari rese, kono, kilo, kinte yang dilakukan orang tua dan keluarga inti serta sebagai penghubung untuk menjalin komunikasi awal sambil mengintai informasi tentang calon inen mayak termasuk silsilah keluarga dinamakan kekelang rukut.
Setelah adanya informasi dari kekelang rukut dan mencapai kesepakatan persetujuan dari keluarga perempuan selanjutnya pihak keluarga laki-laki melakukan peminangan (munginte/mujule peramalan) melalui utusan yang disebut telangke sange.
Sejak datangnya telangke sange mujule peramalan, pihak keluarga perempuan akan mengirim kekelang rukut untuk mengintai informasi tentang calon aman mayak termasuk silsilah keluarga dan pada saat inilah kedua pihak keluarga melakukan amal tidur nipi jege, artinya masing masing keluarga mencari informasi dan mendoakan yang terbaik dalam proses pernikahan
Apabila dalam amal tidur nipi jege memberi isyarat baik maka proses akan dilanjutkan ke tahap berikutnya dengan sebutan betelah, yaitu membicarakan mahar dan teniron/permintaan serta penentuan tanggal turun caram dan akad nikah. Namun apabila amal tidur nipi jege tidak baik maka tidak ada kelanjutan
Semenjak proses awal dari rese, kono, kilo, kinte sampai kepada betelah masih menjadi tanggung jawab dan rahasia keluarga, oleh sebab itu pihak berwajib dalam kampung belum diikut sertakan, mengingat jika terjadi penolakan atau bermasalah tentang teniron dari pihak keluarga perempuan maka aparat desa akan menjadi aib dan merasa malu bahkan bisa menjadi fitnah. Saat turun caram (mengantar perlengkapan sesuai teniron), barulah aparatur desa terutama sarakopat telah diikut sertakan karena menentukan status perkawinan seperti angkap dan juelen
Sebelum mah bai (mengantar calon aman mayak/pengantin laki-laki) maupun nerime bai (menerima calon aman mayak/pengantin laki-laki) untuk dinikahkan, masing-masing keluarga mengadakan acara ejer muarah dan beguru. Pada akhir acara beguru calon aman mayak melakukan matjari malem yaitu salaman aman/inen mayak kepada seluruh masyarakat yang hadir, ketika bersalaman tersebut masyarakat akan memberikan sedikit uang secara ikhlas sebagai selpah yaitu tambahan uang untuk bekal kepada calon aman/inen mayak. Matjari malem ini sudah tidak terlaksana lagi secara sempurna saat ini karena sudah jarang ditemukan yang memberikan selpah kepada calon aman/inen mayak.
Demikian juga ketika selesai ijab Kabul (akad nikah) aman mayak melakukan semah pincung, yaitu salaman disertai sembah yang dilakukan aman mayak kepada orang tua/wali nikah. Saat bersalaman tersebut aman mayak memberikan sedikit uang, hal ini dikmaksudkan sebagai simbul ungkapan yang tidak terucap bahwa mulai detik ini saya selaku kile (menantu) akan turut membantu belanja dalam keluarga. Kondisi saat ini pada sebahagian aman mayak dalam mengamalkan semah pincung hanya tinggal salaman dan memberikan sedikit uang, sementara follow up dari memberikan sedikit uang belanja sebagai tambahan belanja saat mendapat rizki hampir tidak ada
Semah tungel. Dikatakan semah tungel (tunggal) karena hanya aman mayak sendiri yang disembah oleh inen mayak pada acara delem. Pelaksanaan semah tungel ini dilakukan dalam posisi aman mayak dan inen mayak duduk berhadapan
Aman mayak duduk bersimpuh hampir menyerupai duduk antara dua sujud dalam shalat, namun bedanya kedua ibu jari kaki dirapatkan. Telapak tangan kanan dan kiri tidak merapat, tetapi antara ujung jari kanan dan kiri dirapatkan dengan posisi tangan ditengah paha.
Pada posisi itu inen mayak mendekatkan diri kehadapan aman mayak dan melakukan semah tungel, yaitu kepala inen mayak ditundukan untuk menyembah sampai pada lutut aman mayak. Semah tungel ini dimaksudkan sebagi bentuk kepatuhan dan ketaatan inen mayak sebagai isteri yang setiap saat selalu siap melayani kebutuhan dan keperluan aman mayak sebagai suami. Semah tungel juga melambangkan bahwa seorang isteri akan selalu menghormati dan mampu menjaga harta serta menjaga wibawa suami kapan dan dimanapun.
Pada saat semah tungel tersebut aman mayak memberikan sedikit uang atau dalam bentuk emas, hal ini melambangkan bahwa mulai saat ini inen mayak manjadi tanggungan aman mayak dan uang dimaksud sebagai langkah awal aman mayak sebagai suami memberikan nahkah kepada inen mayak sebagai isteri