Tapaktuan, 14 Juli 2025 — Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan mengeluarkan Surat Edaran resmi tentang Gerakan “Ayah Mengantar Anak ke Sekolah,” sebagai bagian dari tindak lanjut Gerakan Nasional yang dicanangkan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Kebijakan ini menuai apresiasi dari berbagai kalangan, termasuk dari Melda Afriza, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (USK) yang berasal dari Aceh Selatan.
Menurut Melda, kebijakan tersebut mencerminkan keseriusan pemerintah daerah dalam membangun iklim pendidikan yang inklusif dan menempatkan keluarga sebagai fondasi utama dalam pembentukan karakter anak. Ia menilai program ini sebagai bentuk pendekatan kebijakan yang sederhana namun sangat bermakna.
“Gerakan ini bukan hanya soal ayah mengantar anak ke sekolah. Ini adalah simbol keterlibatan emosional dan keteladanan dari seorang ayah. Hal kecil seperti ini memiliki dampak psikologis yang besar bagi tumbuh kembang anak,” ujar Melda.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi ayah dalam pengasuhan anak masih tergolong rendah secara nasional, yakni hanya sekitar 27,4 persen. Di wilayah Aceh sendiri, nilai-nilai budaya patriarki masih dominan, sehingga peran ayah dalam rumah tangga seringkali lebih difokuskan pada pencari nafkah, sementara urusan pengasuhan dan pendidikan anak umumnya diserahkan kepada ibu.
Melda melihat gerakan ini sebagai upaya konkret untuk mengubah paradigma tersebut. Ia menilai, keterlibatan ayah dalam aktivitas sederhana seperti mengantar anak ke sekolah mampu menumbuhkan rasa aman dan kepercayaan diri pada anak.
“Anak yang mendapatkan dukungan emosional dari kedua orang tua, khususnya dari ayah, cenderung lebih disiplin, percaya diri, dan siap menghadapi lingkungan sosial di sekolah. Ini bukan sekadar teori, tapi sudah dibuktikan oleh banyak riset, termasuk laporan UNICEF tahun 2022 yang menyoroti pentingnya keterlibatan ayah dalam pendidikan anak,” jelas Melda.
Ia juga mendorong agar kebijakan tersebut tidak berhenti pada momentum awal tahun ajaran semata, tetapi dikembangkan sebagai bagian dari budaya pendidikan keluarga yang berkelanjutan. Menurutnya, pemerintah daerah bisa mengintegrasikan program serupa ke dalam kegiatan sekolah maupun komunitas pendidikan berbasis keluarga.
“Pelibatan ayah dalam kegiatan sekolah, seperti pertemuan orang tua, kelas parenting, hingga pendampingan tugas belajar di rumah, dapat memperkuat fungsi keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak,” tambahnya.
Melda yang selama ini aktif dalam diskusi dan kajian kebijakan publik menilai kebijakan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan ini sebagai salah satu bentuk inovasi kebijakan sosial yang layak dicontoh oleh daerah lain di Indonesia. Ia menyebut bahwa langkah tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah daerah tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga memperhatikan pembangunan karakter dan kualitas sumber daya manusia secara holistik.
“Inilah bentuk kebijakan yang progresif tapi tetap berakar pada nilai-nilai lokal. Ia tidak memisahkan peran negara dari keluarga, tapi justru memperkuat relasi keduanya,” pungkasnya. (*)